http://picasion.com/gl/2jwY/


widgets
http://picasion.com/gl/1Nts/

Sholat Subuh kesiangan?




2012-03-18 07.21.15 



banyak dari sering bertanya-tanya kepada diri kita sendiri tentang hal ini.
Saya akan memberikan beberapa saran apa saja yang bisa kita lakukan
mengenai hal ini.  

Kewajiban shalat merupakan salah satu kewajiban yang Allah swt telah tentukan waktunya. Hal ini selaras dengan firman Allah swt:

“Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. 4:103)”

Dengan demikian, seorang muslim harus melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Lalu bagaimana dengan orang yang bangun tidur kesiangan, sehingga matahari telah terbit ?

LIMA KEUTAMAAN SHALAT SHUBUH

1. Shalat Subuh adalah Faktor Dilapangkannya Rezeki
“…..Hai Fathimah, bangun dan saksikanlah rezeki Rabbmu, karena Allah membagi-bagikanrezeki para hamba antara shalat Subuh dan terbitnya matahari.” (H.R. Baihaqi)
2. Shalat Subuh Menjaga Diri Seorang Muslim
“Barangsiapa melaksanakan shalat Subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah, maka jangan sampai Allah menarik kembali jaminan-Nya kepada kalian dengan sebab apapun…” (H.R.
Muslim

RENUNGAN MANIS SEAKAN TAK PERLU NAMUN SANGATLAH BERGUNA

Laron berfikir telah hidup panjang karena mampu mengelilingi ruangan. Namun jika cicak melihatnya maka umur laron hanya semalam saja ...
Al Quran secara implisit mengatakan bahwa 1hari akhirat rasanya bagaikan seribu tahun dunia (QS 22:47, 32:5)
Berdasarkan keterangan tadi, artinya 1hari (24jm) akhirat = 1000 thn,

TAK TERKENAL DI BUMI, TERKENAL DI LANGIT

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … Pada zaman Baginda Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, bidang dadanya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, wajahnya selalu melihat pada tempat sujudnya dan tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya.

Pemuda ini tidak pernah lalai dari membaca al-Quran dan senantiasa menangis.

LUPA KEMATIAN

(Indikasi Kedunguan !!!)
Setiap yang menangis…suatu saat ia akan ditangisi…
Setiap yang meratapi …suatu saat ialah yang akan diratapi…
Akan tetapi kapan..? dan dimana…?
Jika setiap kita tahu kapan dan dimana kita akan meninggal maka perkaranya lebih mudah untuk

DAHSYATNYA SURAT AL-IKHLASH





Sempatkanlah sebentar untuk membaca tulisan ini


Rasulullah Muhammad SAW pada suatu ketika bersabda: ”

KEJAMNYA WAKTU SUBUH

Allah bersumpah dalam Al Fajr :“Demi fajar (waktu Subuh)”. Kemudian
dalam Al Falaq Allah mengingatkan:“Katakanlah! aku berlindung kepada
Tuhan yang menguasai waktu subuh”.
Ada apa sebenarnya di balik waktu Subuh?

BERIKUT JUMLAH RAKAAT SALAT SUNNAH&FARDHU




JENIS-JENIS SHALAT:

Shalat Fardhu (Shalat Wajib):




  1. Shalat Subuh: 2 rakaat, sekitar jam 04.15 s/d 06.00.


  2. Shalat Zuhur: 4 rakaat, sekitar jam 12.00 s/d 15.15.


  3. Shalat Ashar: 4 rakaat, sekitar jam 15.15 s/d 18.00.


  4. Shalat Maghrib: 3 rakaat, sekitar jam 18.00 s/d 19.15.


  5. Shalat Isya: 4 rakaat, sekitar jam 19.15 s/d 04.15. 



Shalat Sunnah (Shalat Sunnah):




  1. Shalat Rawatib:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan sebelum dan sesudah
    shalat fardhu. Ada juga yang mengerjakan 4 rakaat dengan dua kali salam:




    • Sebelum shalat Subuh: 2 rakaat.


    • Sebelum dan sesudah shalat Zuhur: 2 rakaat.


    • Sebelum shalat Ashar: 2 rakaat.


    • Sesudah shalat Maghrib: 2 rakaat.


    • Sebelum dan sesudah shalat Isya: 2 rakaat.






  2. Shalat Dhuha:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat atau lebih (bisa 4, 6, 8 rakaat; tiap 2
    rakaat ditutup dengan salam) yang dikerjakan ketika matahari naik
    sepenggal (sekitar jam 08.00 s/d sebelum Zuhur). Pada rakaat pertama
    disunnahkan membaca surat Asy-Syamsu dan pada rakaat kedua surat
    Ad-Dhuha.



  3. Shalat Tahiyyatul Masjid:
    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan sebelum masuk masjid. Shalat ini dilakukan untuk menghormati masjid.



  4. Shalat Tahajjud:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan pada waktu malam hari
    (setelah shalat Isya hingga terbit fajar). Bisa juga dikerjakan 4 rakaat
    atau sebanyak-banyaknya (tidak terbatas; setiap 2 rakaat diakhiri
    dengan salam). Disyaratkan harus tidur terlebih dahulu walaupun
    sebentar. Sebaiknya dilanjutkan dengan shalat sunnah witir 1 rakaat.



  5. Shalat Mutlak:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat (minimal) yang dapat dikerjakan kapan saja (kecuali waktu yang diharamkan).




  6. Shalat Fajar:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan sebelum Shalat subuh.




  7. Shalat Wudhu:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan beberapa saat sesudah
    berwudhu, ketika sisa-sisa air wudhu yang ada di anggota wudhu masih
    kelihatan basah, jadi jangan sampai sudah kering baru melakukan shalat
    sunnah wudhu.




  8. Shalat Tasbih:

    Merupakan shalat sunnah 4 rakaat yang di dalamnya terdapat 300 tasbih.
    Bila dikerjakan siang hari: 4 rakaat dengan 1 salam dan bila dikerjakan
    malam hari: 4 rakaat dengan 2 salam.




  9. Shalat Tobat:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat (bisa 4 dan 6 rakaat) yang dianjurkan
    Rasulullah apabila kita telah melakukan dosa dan lalu bertobat. Waktu
    mengerjakannya bisa kapan saja, tetapi alangkah baiknya dikerjakan pada
    malam hari.




  10. Shalat Hajat:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan karena mempunyai hajat dan memohon agar Allah mengabulkannya.




  11. Shalat Tarawih:

    Merupakan shalat sunnah yang dikerjakan setelah shalat Isya pada bulan
    Ramadhan. Shalat ini bisa dikerjakan sendiri-sendiri, afdhalnya
    berjamaah. Bilangan rakaatnya 20 (tiap 2 rakaat diakhiri dengan salam).
    Sebaiknya dilanjutkan dengan shalat sunnah witir 3 rakaat (2 roka'at
    salam, lalu 1 roka'at salam [infishal]), bila dilaksanakan ittishal 3
    rakaat dengan satu salam maka tanpa tasyahhud awal.




  12. Shalat Witir:

    Merupakan shalat sunnah penutup shalat malam yang dikerjakan di awal
    (jika khawatir tidak bangun pada malam harinya), pertengahan atau di
    akhir malam (jika percaya bisa bangun malam). Bilangan rakaatnya ganjil,
    minimal 1 rakaat dan maksimal 11 rakaat (tanpa tasyahud awal). Lazimnya
    shalat witir ini 1 atau 3 rakaat.




  13. Shalat Istisqa:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang biasanya dilakukan secara
    berjamaah dilapangan untuk meminta hujan, apabila mengalami kekeringan
    (disertai dengan 2 khutbah).




  14. Shalat Hari Raya:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat dipagi hari (dimulai dari terbitnya
    matahari sampai waktu zuhur) secara berjamaah di lapangan maupun di
    masjid yang dikerjakan pada waktu Hari Raya Idul Fitri, tanggal 1 Syawal
    dan Idul Adha, tanggal 10 Dzulhijjah. Pada rakaat pertama disunnahkan
    membaca takbir sebanyak 7 kali dan pada rakaat kedua sebanyak 5 kali.
    Pada tiap-tiap takbir membaca:




    Subhaanallaah,

    wal hamdu lillaah,

    wa laa ilaaha illallaah,

    wallaahu akbar.

    Artinya: Mahasuci Allah dan segala puji bagi Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, Tuhan yang Maha Besar.



  15. Shalat Gerhana:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dilaksanakan karena ada gerhana,
    baik gerhana matahari atau gerhana bulan. Kalau gerhana matahari disebut
    shalat kusuuf, dan kalau gerhana bulan disebut shalat khusuuf. Waktu
    melaksanakan shalat gerhana matahari, yaitu mulai awal gerhana hingga
    matahari kembali seperti semula, begitu juga dengan gerhana bulan.
    Apabila dilaksanakan berjama'ah maka ada 2 khutbah setelahnya shalat.



KAPAN WAKTU YANG BENAR UNTUK MELAKUKAN SHOLAT DHUHA (SHOLAT AWWABIN) ?


SHALAT DHUHA


ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari





Shalat dhuha dikerjakan pada siang hari. Waktunya yang utama/afdhal disebutkan dalam hadits di bawah ini:

Zaid bin Arqam Radhiyallaahu ‘anhu melihat orang-orang sedang
shalat dhuha, maka ia berkata: Ketahuilah, orang-orang itu sungguh
mengetahui bahwa shalat (dhuha) di selain waktu ini lebih utama.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:


صَلاَةُ الْأَوَّابِيْنَ حِيْنَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ



“Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim no. 1743)

Waktu yang demikian itu, kata Al-Imam Ash-Shan’ani Rahimahullah adalah ketika matahari telah tinggi dan panasnya terasa. (Subulus Salam, 3/50)

Al-Imam An Nawawi Rahimahullah berkata, “Ar-Ramdha’ adalah pasir yang panasnya bertambah sangat karena terbakar matahari. Shalat awwabin adalah saat kaki-kaki anak unta yang masih kecil terbakar karena menapak/menginjak pasir yang sangat panas. Awwab adalah orang yang taat. Ada yang mengatakan awwab adalah orang yang kembali dengan melakukan ketaatan. Dalam hadits ini ada keutamaan shalat di waktu tersebut dan ia merupakan waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat dhuha, walaupun shalat dhuha boleh dikerjakan dari mulai terbitnya matahari sampai tergelincirnya.” (Al-Minhaj, 6/272)

Ucapan beliau Rahimahullah bahwa waktu shalat dhuha yaitu mulai terbitnya matahari sampai zawal tentunya tidak persis saat terbitnya matahari, karena adanya larangan yang datang dalam hadits lain untuk mengerjakan shalat di waktu tersebut seperti hadits berikut ini:

Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَلاَ تَحَرَّوْا بِصَلاَتِكُم طُلُوْعَ الشَّمْسِ وَلاَ غُرُوْبَهَا، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بِقَرْنَيْ شَيْطَانٍ

“Janganlah kalian memilih untuk mengerjakan shalat kalian ketika terbit matahari dan tidak pula ketika tenggelam matahari, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Al-Bukhari no. 582, 3272 dan Muslim no. 1922)

Uqbah bin Amir Radhiyallaahu ‘anhu berkata:

ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ n يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ…

“Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi….” (HR. Muslim no. 1926)

Demikian pula hadits ‘Amr bin ‘Abasah Radhiyallaahu ‘anhu yang menyebutkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepadanya:

صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ….

“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari….” (HR. Muslim no. 1927)

Adapun hadits Abud Darda’ dan Abu Dzar Radhiyallaahu ‘anhuma yang mengabarkan dari RasulullahShallallaahu ‘alaihi wasallam , dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, bahwasanya Dia berfirman:

ابْنَ آدَم، اِرْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Wahai anak Adam, ruku’lah (shalatlah) untuk-Ku empat rakaat dari awal siang niscaya Aku akan mencukupimu pada akhir siangmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 475, ia berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Dishahihkan Al-Imam Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Demikian juga dalam riwayat Ahmad (4/153) dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani Radhiyallaahu ‘anhu disebutkan dengan lafadz:

إِنَّ اللهَ k يَقُوْلُ: يَا ابْنَ آدَمَ، اكْفِنِي أَوَّلَ النَّهَارِ بِأَرْبَعِ رَكَعَاتٍِ، أَكْفِكَ بِهِنَّ آخِرَ يَوْمِكَ

“Sesungguhnya Allah k berfirman: ‘Wahai anak Adam, cukupi Aku pada awal siang dengan empat rakaat niscaya Aku akan mencukupimu dengannya pada akhir harimu’.”

Maka yang dimaksud awal siang dalam dua hadits di atas bukan persis setelah shalat subuh, karena adanya hadits Rasulullah n:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)

Al-Imam Asy-Syaukani Rahimahullah menerangkan, “Ulama berbeda pendapat tentang waktu masuknya shalat dhuha. Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah dalam Ar-Raudhah meriwayatkan dari para pengikut mazhab Asy-Syafi’i bahwa waktu dhuha mulai masuk dengan terbitnya matahari, akan tetapi disenangi mengakhirkannya sampai matahari tinggi. Sebagian dari mereka berpendapat, waktunya mulai masuk saat matahari tinggi. Pendapat ini yang ditetapkan oleh Ar-Rafi’i dan Ibnu Ar-Rif’ah.” (Nailul Authar, 2/329)

Dalam Zadil Mustaqni’ disebutkan, “Waktu dhuha mulai dari selesainya waktu larangan shalat sampai sesaat sebelum zawal.”

Kata pensyarahnya, “Yakni dari naiknya matahari seukuran tombak sampai masuknya waktu larangan shalat dengan matahari berada di tengah langit. Waktunya yang paling utama adalah apabila panas matahari terasa menyengat.” (Ar-Raudhul Murbi’, 1/176)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menyatakan bahwa ukuran satu tombak itu menurut penglihatan mata orang yang melihat dan ukurannya sekitar satu meter 1. Kemudian beliau menyimpulkan bahwa waktu dhuha dimulai dari berakhirnya waktu larangan shalat di awal siang sampai datangnya waktu larangan di tengah siang (tengah hari). Mengerjakannya di akhir waktu lebih utama karena adanya hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang shalat awwabin. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/88)

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam Mengerjakan Shalat Dhuha setelah Siang Meninggi

Dalam peristiwa Fathu Makkah, Ummu Hani x mengabarkan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n أَتَى بَعْدَ مَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ يَوْمَ الْفَتْحِ، فَأُتِيَ بِثَوْبٍ فَسُتِرَ عَلَيْهِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ قَامَ، فَرَكَعَ ثَمَانِي رَكَعَاتٍ…

“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam datang pada hari Fathu Makkah setelah siang meninggi, lalu didatangkan kain untuk menutupi beliau yang hendak mandi. (Seselesainya dari mandi) beliau bangkit untuk mengerjakan shalat sebanyak delapan rakaat….” (HR. Muslim no. 1665)

Keterangan:

1 Al-Imam Al-Albani t ketika ditanya tentang kadar rumh/satu tombak, beliau mengatakan dua meter bila dikiaskan dengan ukuran yang ada pada hari ini. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah, 2/167) ########################################################################################################### Perbedaan Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha Oleh: Badrul Tamam Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Shalat Isyraq, menurut Syaikh Utsaimin adalah shalat yang dikerjakan setelah matahari meninggi satu tombak, sekitar lima belas menit setelah matahari terbit. Disebut demikian karena dikerjakan sesudah terbitnya matahari. Menurut Syaikh Utsaimin, Syaikh Ibnu Bazz, dan lainnya adalah Shalat Isyraq termasuk Shalat Dhuha itu sendiri. Karena Shalat Dhuha dikerjakan sesudah matahari terbit dan meninggi satu tombak, -sekitar 15 sampai 20 menit sesudah terbit- sampai matahari mendekati dipertengahan, -sekitar 10 menit sebelum di pertengahan-. Keutamaannya yang lebih dengan pahala yang besar, ditunjukkan oleh hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ "Siapa yang shalat Shubuh dengan berjamaah, lalu duduk berdzikir kepada Allah sehingga matahari terbit, kemudian shalat dua rakaat, maka ia mendapatkan pahala haji dan umrah sempurna (diulang tiga kali)." (HR. Al-Tirmidzi, dihassankan oleh Al-Albani dalam al-Misykah, no. 971) Keutamaan ini didapatkan karena mampu memanfaatkan waktu istimewa dengan dzikir, tilawah, dan shalat sebagai bentuk syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan diperolehnya keutamaan tersebut apabila ditegakkan syarat-syarat yang disebutkan di dalamnya: Shalat Shubuh berjama'ah, berada di tempat ia shalat (tidak berpindah dari tempat shalatnya), waktunya diisi dengan dzikir (bukan membicarakan urusan duniawi atau menyakiti orang), masih dalam keadaan suci, sampai terbit matahari, dan diakhiri dengan shalat dua rakaat di waktu Dhuha. Kalau syarat-syarat ini ditegakkan, maka shalat tersebut berpahala besar. Namun, jika hanya shalat dua rakaat sesudah masuk waktu dhuha dan tidak diawali dengan syarat-syarat tadi, mengakhirkannya (shalat Dhuha) saat matahari sudah memanas (sekitar jama 10 sampai seperempat jam sebelum matahari dipertengahan) adalah lebih baik. Itulah yang disebut dengan Shalat Awwabin. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam di atas,"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah pergi ke penduduk Qubba' pada saat mereka mengerjakan shalat (Dhuha). Lalu beliau bersabda, صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ مِنْ الضُّحَى "Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasa di waktu Dhuha." (HR. Muslim) Dalam riwayat Imam Ahmad, dari Zaid bin Arqam, أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى مَسْجِدِ قُبَاءَ أَوْ دَخَلَ مَسْجِدَ قُبَاءَ بَعْدَمَا أَشْرَقَتْ الشَّمْسُ فَإِذَا هُمْ يُصَلُّونَ فَقَالَ إِنَّ صَلاةَ الأَوَّابِينَ كَانُوا يُصَلُّونَهَا إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ "Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang ke masjid Qubba' atau masuk ke dalam masjid Qubba' sesudah matahari terbit yang pada saat itu mereka sedang mengerjakan shalat. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya shalatnya awwaabin (orang yang banyak taan kepada Allah) yang mereka mengerjakannya apabila anak onta sudah kepanasan." Dan dari Al-Qasim al-Syaibani, bahwasannya Zaid bin Arqam melihat suatu kaum yang sedang melaksanakan shalat di waktu Dhuha, maka ia berkata: أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ “Tidakkah mereka mengetahui bahwasannya shalat di selain waktu ini lebih utama? Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda: “Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR. Muslim) Maksud رَمِضَتْ الْفِصَالُ (anak onta sudah kepanasan) adalah matahari sudah sangat panas sampai memanaskan tanah dan pasir sehingga panasnya itu dirasakan oleh kaki anak-anak onta. Hal itu tidak terjadi kecuali pada saat matahari sudah meninggi dan mendekati pertengahan siang. Hal itu terjadi beberapa menit menjelang tergelincirnya matahari, sekitar seperempat jam menjelang adzan Dzuhur. Dan pada waktu inilah pelaksanaan shalat Dhuha yang paling utama. (Lihat: Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal: 1/85-86) Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Dan faidah di dalamnya (hadits tersebut): utamanya shalat (Dhuha) pada waktu ini. Para shahabat kami berkata: Ia merupakan waktu shalat dhuha yang paling utama, walaupun boleh dikerjakan sejak terbitnya matahari hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah hari)." (Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi, hadits no. 1237) Syaikh Mubarakfuuri mengatakan, "Dan hadits tersebut memberi faidah untuk mengakhirkan shalat Dhuha sampai menjelang pertengahan siang." (Lihat Bulughul maram dg ta'liqnya Ithaful Kiram: hal. 112) Pengingkaran Zaid bin Arqam dalam haidts Muslim di atas bukan merupakan pengingkaran terhadap keberadaan shalat Dhuha di awal siang. Akan tetapi pengingkaran Zaid bin Arqam ini adalah agar supaya orang-orang melakukannya ketika matahari telah meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar, karena waktu pelaksanaan shalat Dhuha (Shalat Awwabiin) yang paling utama adalah ketika matahari telah memanas. Wallahu Ta'ala a'lam. . . . pengingkaran Zaid bin Arqam ini adalah agar supaya orang-orang melakukannya ketika matahari telah meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar, . . Untuk menguatkan kesimpulan bahwa shalat Isyraq adalah shalat Dhuha itu sendiri, kami terjemahkan beberapa fatwa dari para ulama: Fatwa Syaikh Utsaimin Pertanyaan: Shalat Isyraq, apakah itu shalat Dhuha, itu dikerjakan di rumah atau di masjid? Jawaban: "Shalat Isyraq" adalah shalat yang dikerjakan sesudah matahari meninggi satu tombak. Ukuran jam, sekitar seperempat jam (15 menit) setelah terbit matahari. Inilah yang disebut shalat Isyraq, ia itu Shalat Dhuha juga. Karena shalat Dhuha itu sejak matahari meninggi satu tombak sampai menjelang zawal. Shalat Dhuha dikerjakan di akhir waktunya itu lebih utama daripada di awalnya. Ringkasnya, dua rakaat Dhuha adalah dua rakaat Isyraq, tapi dua rakaat itu dikerjakan di awal waktu, yakni setelah matahari naik satu tombak, maka itu disebut Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha. Dan jika diakhirkan sampai akhir waktu, maka disebut Shalat Dhuha, bukan Shalat Isyraq. (Majmu' Fatawa wa Rasail, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin: Jilid ke 14, Bab: Shalat Thathawwu'. . . dua rakaat Dhuha adalah dua rakaat Isyraq, tapi dua rakaat itu dikerjakan di awal waktu, yakni setelah matahari naik satu tombak, maka itu disebut Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha. Dan jika diakhirkan sampai akhir waktu, maka disebut Shalat Dhuha, bukan Shalat Isyraq. . . Fatwa Syaikh Ibnu Bazz Pertanyaan: Apakah Shalat Isyraq adalah Shalat Dhuha, dan berapa jumlah rakaat shalat Dhuha yang paling utama? Jawaban: Ya, Shalat Isyraq adalah shalat Dhuha. Waktu dimulainya adalah shalat Isyraq dan waktu akhirnya menjelang matahari dipertengahan, (shalat) di antara terbitnya matahari yang meninggi satu tombak sampai waktu ini, semuanya disebut Shalat Dhuha. Yang paling utama, shalat Dhuha dikerjakan saat anak onta kepanasan, yakni saat matahari sudah menyengat, inilah yang paling utama. Apabila mengerjakannya di awal waktu, saat matahari meninggi satu tombak di masjid atau di rumah, keduanya adalah baik. Dan jika menambahnya dengan shalat empat rakaat, enam rakaat, delapan rakaat, atau lebih, maka semuanya adalah baik. (Sumber: www.binbaz.org.sa) . . . (shalat) di antara terbitnya matahari yang meninggi satu tombak sampai waktu ini, semuanya disebut Shalat Dhuha. . . Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah al-Rajihi Pertanyaan: Apakah mengerjakan shalat Isyraq sudah mencukupi shalat Dhuha? Jawaban: Shalat Isyraq itu adalah Shalat Dhuha. Penafsirannya dengan isyraq adalah dikerjakan setelah terbitnya matahari. (Waktu) Shalat Dhuha dimulai sejak naiknya matahari setinggi satu tombak, sekitar 15 atau 20 menit setelah terbit matahari sampai menjelang Dzuhur. Semua ini waktu shalat Dhuha. Tetapi paling utamanya, saat anak onta sudah kepanasan (panas matahari sudah menyengat), itulah shalat awwabin sebagaimana yang diterangkan dalam hadits lain, صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ “Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR. Muslim, Ahmad, dan al-Darimi) Tarmidhu, maknanya: (anak onta) berdiri karena kepanasan. Ini terjadi kira-kira pukul 10 dan sekitarnya. Inilah yang paling utama. Saat terasa panasnya siang, maka inilah (waktunya_red) yang paling utama. Ringkasnya, shalat Dhuha dimulai sejak naiknya matahari setinggi satu tombak sampai menjelang Dzuhur. Jika ia duduk di masjid sampai matahari terbit dan meninggi lalu shalat dua rakaat, maka ini adalah shalat Dhuha, itulah shalat Isyraq. Sebagian orang menamakannya shalat Isyraq, ia itu adalah shalat Dhuha, ia adalah shalat dhuha. Ya!. (Sumber: islamway.com). Kesimpulan Shalat Isyraq adalah bagian dari shalat Dhuha. Jika dikerjakan sesudah matahari terbit, atau di awal waktu Dhuha, disebut shalat Isyraq. Jika dikerjakan di akhir waktunya, disebut shalat Dhuha, itulah waktu pelaksanaan Shalat Dhuha terbaik, dan disebut sebagai Shalat Awwabin (shalatnya orang-orang yang banyak kembali kepada Allah, banyak taubat, banyak menjalankan ketaatan. Wallaahu Ta'ala A'lam

HUJAN... KESEMPATAN EMAS UNTUK BERDOA

Sebagian orang tatkala memperhatikan hujan, ada yang sampai gelisah. Apalagi jika turunnya hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, mungkin ada meeting, janji atau yang lainnya. Sehingga yang terjadi adalah mengeluh dan mengeluh. Padahal jika kita merenung dan memahami hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, waktu hujan turun adalah saat mustajabnya do’a, artinya do’a semakin mudah terkabulkan.

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

KEUTAMAAN SAYYIDUL ISTIQFAR



SAYYIDUL ISTIGHFAR



اَللَّهُمَّ
أَنْتَ رَبِّي, لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ, خَلَقْتَنِي, وَأَنَا عَبْدُكَ,
وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اِسْتَطَعْتُ, أَعُوذُ بِكَ مِنْ
شَرِّ مَا صَنَعْتُ, أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ, وَأَبُوءُ لَكَ
بِذَنْبِي, فَاغْفِرْ لِي; فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ اَلذُّنُوبَ إِلَّا
أَنْتَ


(Allahumma Anta Robbi, Laa Ilaaha Illa
Anta, Kholaqtani wa ana abduKa, wa ana ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika
mastatho’tu, Audzubika min syarri maa shona’tu, Abu’u laka bi ni’matiKa
‘alaiyya wa abu’u laKa bidzanbi faghfirlii fainnahu laa yaghfiru
dzunuuba illa Anta )



”Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu (yaitu selalu menjalankan perjanjian-Mu untuk beriman dan ikhlas dalam menjalankan amal ketaatan kepada-Mu) dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang boleh mengampuni segala dosa kecuali Engkau”.


Kapan membacanya?


Barangsiapa mengucapkannya disiang hari dalam keadaan yakin dengannya kemudian dia mati pada hari itu sebelum petang hari, maka dia termasuk penduduk syurga dan siapa yang mengucapkannya di waktu malam hari dalam keadaan dia yakin dengannya, kemudian dia mati sebelum shubuh maka dia termasuk penduduk syurga.” (HR. Al-Bukhari – Fathul Baari 11/97)

Kandungan maknanya?


Ini adalah doa agung yang mencakup banyak makna : taubat, merendahkan diri kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan kembali menghadap kepada-Nya. Nabi Shalallahu ‘alahi wa Sallam menamainya sebagai Sayyidul Istighfar (penghulu istighfar), yang demikian itu karena melebihi seluruh bentuk istighfar dalam hal keutamaan. Dan lebih tinggi dalam hal kedudukan.
Diantara makna sayyid adalah orang yang melebihi kaumnya dalam hal kebaikan dan yang berkedudukan tinggi dikalangan mereka.


Keutamaan doa ini dibanding bentuk istighfar yang lain adalah :

- Nabi Shallalahu ‘alahi wasallam mengawalinya dengan pujian kepada Allah dan pengakuan bahwa dirinya adalah hamba Allah sebagai makhluk ciptaan-Nya (penetapan Tauhid Ar Rububiyyah), Dan bahwa Allah adalah Al Ma’buud (sesembahan) yang haq dan tidak ada sesembahan yang haq selainNya. Maka Dia adalah satu-satunya yang berhak diibadahi dan ini merupakan realisasi Tauhid Al Uluhiyyah.

- Pernyataannya bahwa ia senantiasa tegak diatas janji dan kokoh diatas ikatan berupa iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, seluruh nabi dan rasul-Nya. Menjalankan segenap ketaatan kepada Allah dan perintah-Nya. Ia akan menjalaninya sesuai kemampuan dan kesanggupannya.

- Kemudian dia berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alaa dari seluruh kejelekan apa yang telah dia perbuat, baik sikap kurang dalam menjalani apa yang Allah wajibkan baginya yaitu mensyukuri nikmat-Nya ataupun berupa perbuatan dosa. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menisbatkan keburukan kepada diri beliau sendiri, bukan kepada Allah Ta’alaa dan ini merupakan bentuk cara beradab kepada Allah, meskipun kita yakin bahwa segala sesuatu baik yang baik maupun yang buruk semuanya berasal dari Allah dan karena takdirNya.

- Kemudian ia mengakui akan nikmat Allah yang terus datang beruntun dan anugerah-Nya serta pemberian -Nya yang tiada pernah berhenti.

- Dan dia mengakui atas dosa-dosanya, sehingga iapun lantas memohon ampunan kepada Allah Suhhanahu wa Ta’ala dari itu semua dengan segenap pengakuannya bahwa tidak ada yang bisa mengampuni segala dosa kecuali Allah Suhhanahu wa Ta’ala.

Ini adalah paling sempurna apa yang ada pada sebuah doa. Kerana itu ia menjadi seagung-agungnya bentuk istighfar dan yang paling utama dan paling luas kandungan maknanya yang mesti akan mendatangkan ampunan bagi dosa-dosa.

Hanyalah yang mengucapkan doa ini dan menjaganya yang akan memperoleh janji yang mulia dan pahala serta ganjaran besar ini, karena ia telah membuka harinya dan menutupnya dengan penetapan Tauhidullah baik Rububiyyah-Nya dan Ululhiyyah-Nya. Dan pengakuan dirinya sebagai hamba yang siap menghamba dan persaksiannya terhadap anugerah dan nikmat Allah. Pengakuannya dan kesadarannya akan kekurangan-kekurangan dirinya dan permohonan maaf dan ampunan dari Dzat yang Maha Pengampun, diiringi dengan rasa tunduk dan rendah dihadapan-Nya untuk senantiasa patuh dan taat kepada-Nya. Ini semua merupakan cakupan makna yang utama dan sifat yang mulia yang ia buka dan tutup lembaran siangnya. Yang pantas bagi orang yang mengucapkan dan menjaganya mendapat maaf dan ampunan, terbebas dari neraka dan masuk syurga.

Wallahu a’lam bisshowab.

Kita memohon kepada Allah Yang Maha Mulia keutamaan dan anugerah-Nya.

TUJUAN DI CIPTAKAN NYA MANUSIA OLEH ALLAH






Tidaklah kita diciptakan kecuali untuk
merealisasikan peribadatan hanya kepada Allah Azzawajalla. Begitu juga
inti dakwah para Rasul adalah mendakwahkan ummatnya untuk beribadah
hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Subhaanahu
wata’aala berfirman :




وَمَاخَلَقْتُالْجِنَّوَالإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ



”Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat : 56)


وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ



 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Rasul pada setiap umat (untuk menyerukan) “Beribadalah kepada Allah
(saja) dan jauhilah Thogut
 (sesembahan  yang disembah selain Allah yang diri ridha disembah –ed) (QS. An-Nahl : 36)


Tidak boleh seseorang memalingkan ibadah
kepada selain Allah, jika hal ini dilakukan maka sungguh dia telah
berbuat syirik (menyekutukkan Allah). Allah Subhanahu wata’aala
berfirman:


وَاعْبُدُوا اللهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا



“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (Qs. An-Nisa’:36)


إِنَّ اللهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ
بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ
فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا



“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
 (Qs. An-Nisa : 48)


Lalu apa itu ibadah..?Ibadah
adalah sebuah nama yang mencakup apa-apa yang Allah cintai dan ridhai,
baik berupa perkataan ataupun perbuatan, baik amalan  zhahir dan  amalan
bathin.(silahkan lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
10/149-dinukil dari kitab Al-Qaulul Mufid Fi Adilatit, syaikh Abdul
Wahhab Al-Whusoby).


Macam-Macam Ibadah


Berikut ini akan disebutkan tentang macam-macam ibadah berserta contohnya.


  1. Ibadah I’tiqadiyah (ibadah yang berkaitan dengan
    aqidah/keyakinan): Yaitu mentauhidkan Allah dalam Rububiyah-Nya
    (menyakini Allah satu-satunya pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam
    semesta), Uluhiyah-Nya (menyakini Allah satu-satunya yang berhak
    disembah) dan Asma wa Sifat-Nya (menetapkan nama-nama dan sifat Allah
    tanpa menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). ini adalah ibadah yang
    paling utama dan  yang paling agung.

  2. Ibadah Lafzhiyah (ibadah yang berkaitan dengan lisan) : yaitu
    mengunakan lisan untuk apa-apa yang Allah cintai dan ridhai dari
    perkataan. seperti mengucapan Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah
    (syahadat), membaca Al-Qur’an, doa dan dzikir-dzikir yang di ajarkan
    Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta ibadah lafzhiyah (ucapan)
    lainya.

  3. Ibadah Badaniyah (ibadah yang terkait dengan badan) : Yaitu
    mengunakan badan untuk melakukan apa-apa yang Allah cintai dan ridhai.
    Seperti ruku, sujud dalam shalat. Dan seperti puasa, amalan-amalah haji,
    hijrah, jihad dan ibadah badaniyah lainnya.

  4. Ibadah Maliyah (ibadah yang terkait dengan harta) : Yaitu
    menggunakan harta yang Allah karuniakan untuk apa-apa yang Allah cintai
    dan ridhai. Seperti mengeluarkan zakat, shadaqah dan yang lainnya.

  5. Ibadah Tarkiyah (ibadah yang terkait dengan meninggalakan
    sesuatu) : Yaitu seorang muslim meninggalkan apa-apa yang Allah dan
    Rasul-Nya haramkan dan larang darinya dalam rangka beribadah kepada
    Allah. Dia meninggalkan maksiat karena takut adzab Allah dan mengharap
    ridha serta pahala Allah. Seperti meninggalakan perbuatan syirik
    (menyekutukkan Allah), bid’ah dan yang lainnya.  (Silahkan lihat
    Kitab Tathiral I’tiqad Al Imam Shan’ani, Al-Qaulul Mufid Fi Adilatit
    Tauhid : , Syaikh Abdul Wahhab Al-Whusoby : dan beberapa syarh kitab
    Al-Qaulul Mufiid).



Hanya kepada Allah lah kita beribadah.
Kita serahkan seluruh ibadah kita hanya kepada-Nya. Dan tidak kepada
yang lainnya. Sebagaimana Allah Ta’aala berfirman :


إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ



“Hanya kepada Engkaulah yang Kami beribaah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan. (Qs. Al-Fatihah : 5).

TENTANG KURBAN DAN PAHALANYA



Sesungguhnya Menyemblih hewan Qurban itu menjadi amalan yang sangat
istimewa ; karena orang yang berkurban itu sama dengan orang yang
mensyi'arkan agama Allah.... (QS 22 ayat 36)

.

karena berqurban itu sebagai syiar dari agama Allah , maka diharapkan kita semua terlibat di dalamnya, kalau belum mampu berqurban, kita bisa membantu menyemblihnya, kalau tidak bisa, kita membantu memotong-motong nya, ga bisa? kita membantu memasaknya, ga bisa juga? paling kurang ikut memakannya... , yang penting kita ikut terlibat didalamnya... jadi kita ikut mensyi'arkan agama Allah...

Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam bersabda "tidak ada suatu amalan yang paling dicintai Allah dari Bani Adam ketika Hari Idul Adha selain menyembelih Hewan Qurban. sesungguhnya hewan itu akan datang pada Hari Kiamat [sebagai saksi] dengan tanduknya, bulu dan kukunya. dan sesungguhnya Darah Hewan Qurban telah terletak di suatu tempat di sisi Alloh sebelum mengalir di tanah (sebelum darahnya mengalir ke tanah pahalanya telah lebih dulu sampai kepada orang yang berqurban ) . karena itu bahagiakanlah dirimu dengannya." (H.R. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim)

Hukum Mengakhirkan Waktu Shalat Isya’ adalah Sunnah











Pada prinsipnya, dalam setiap shalat, dianjurkan untuk
melaksanakannya di awal waktu, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah
hadits mengenai keutamaan shalat di awal waktu:

Dari Ali, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda,
“Perhatikanlah tiga perkara, janganlah engkau akhirkan shalat jika telah
datang waktunya, jenazah jika telah tiba


& (menikahi) seorang janda jika engkau telah merasa cocok (sepadan).” (HR At Tirmidzi 156, hasan gharib)

Disebutkan dalam Shahih Al Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Amal apakah yang paling dicintai Allah?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab dengan sabdanya:

“Shalat pada waktunya.”

Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, shalat pada waktunya adalah shalat di awal waktunya.

Imam Asy Syafi’i berkata, “ Shalat di awal waktu adalah sesuatu yang utama. Dan sesuatu yang menunjukkan keutamaan shalat di awal waktu dari yang akhir, adalah memilihnya Nabi, Abu Bakar, dan Umar. Mereka selalu mengerjakannya di awal waktu. Dan mereka tak memilih kecuali sesuatu yang utama. Mereka tak pernah meninggalkan yang utama, dan mereka selalu melaksanakan shalat di awal waktu.”

Namun, khusus untuk Shalat Isya’, terdapat pengkhususan sunnahnya melaksanakan shalat tersebut lebih akhir.
Dalil Nash

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Suatu malam Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat ‘atamah (isya`) sampai berlalu sebagian besar malam dan penghuni masjid pun ketiduran, setelah itu beliau datang dan shalat. Beliau bersabda: “Sungguh ini adalah waktu Shalat Isya’ yang tepat, sekiranya aku tidak memberatkan umatku.” (HR. Muslim no. 638)

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa mengakhirkan Shalat Isya’.” (HR. Muslim no. 643)

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau, “Shalat. Para wanita dan anak-anak telah tertidur.” Beliau akhirnya keluar seraya bersabda, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian.” Rawi berkata, “Tidak dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah pada waktu itu kecuali di Madinah. Nabi beserta para sahabatnya menunaikan shalat isya tersebut pada waktu antara tenggelamnya syafaq sampai sepertiga malam yang awal.” (HR Al Bukhari no. 569 dan Muslim no. 1441)

Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu dia berkata:

“Kami menanti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat isya (‘atamah), ternyata beliau mengakhirkannya hingga seseorang menyangka beliau tidak akan keluar (dari rumahnya). Seseorang di antara kami berkata, “Beliau telah shalat.” Maka kami terus dalam keadaan demikian hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, lalu para sahabat pun menyampaikan kepada beliau apa yang mereka ucapkan. Beliau bersabda kepada mereka, “Kerjakanlah shalat isya ini di waktu malam yang sangat gelap (akhir malam) karena sungguh kalian telah diberi keutamaan dengan shalat ini di atas seluruh umat. Dan tidak ada satu umat sebelum kalian yang mengerjakannya.” (HR. Abu Dawud no. 421, shahih)

Dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu, ia mengabarkan:

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di waktu yang sangat panas di tengah hari, shalat ashar dalam keadaan matahari masih putih bersih, shalat maghrib saat matahari telah tenggelam dan shalat isya terkadang beliau mengakhirkannya, terkadang pula menyegerakannya. Apabila beliau melihat mereka (para sahabatnya/jamaah isya) telah berkumpul (di masjid) beliau pun menyegerakan pelaksanaan shalat isya, namun bila beliau melihat mereka terlambat berkumpulnya, beliau pun mengakhirkannya.” (HR Al Bukhari no. 565 dan Muslim no. 1458)
Pendapat Fuqaha

Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah disebutkan sebagi berikut:

Mayoritas ulama fuqaha (ahli fiqh) yang terdiri dari kalangan Hanafiyah, Hanabilah, dan satu pendapat dari Syafi’iyah (pada qaul jadid) mengakhirkan shalat isya hingga sepertiga malam hukumnya disunnahkan, berkata Az Zaila’i banyak hadits menerangkan tentang kesunnahannya, ini adalah pendapat paling dominannya ahli ilmu dari para shahabat dan tabi’in, diantara hadits yang menunjukkannya adalah sabda Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam riwayat Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘Anhu, “Andaikan aku tidak menghawatirkan memberi kesulitan pada umatku, niscaya aku perintahkan pada mereka untuk mengakhirkan Shalat Isya’ hingga sepertiga malam atau separuh malam.” (HR At Trmidzi I/310-312, Ibnu Maajah I/226, Ahmad bin Hanbal II/250, Hakim dalam Al Mustadrak-nya I/146)

Kalangan Hanafiyah memberi batasan kesunnahan mengakhirkan Shalat Isya’ di atas pada saat musim dingin, sedang saat musim panas justru disunnahkan mengawalkan Shalat Isya’. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin I/146)

Kalangan Malikiyah memilih yang lebih utama bagi orang yang shalat sendirian atau berjamah bersama orang-orang yang tidak bisa dinanti kedatangannya mengawalkan shalat, walaupun itu Shalat Isya’ setelah yakin masuk waktunya (Syarh Al Kabir maa Hasyiyah Ad Dasuqi I/180)

Dan tidak dianjurkan mengakhirkan Shalat Isya’ hingga sepertiga malam terakhir kecuali bagi orang yang memiliki kesibukan penting, seperti menjalankan pekerjaannya, atau karena ada udzur (halangan) seperti sakit dan lain-lain. Hanya saja menurut mereka (kalangan Malikiyah), dianjurkan mengakhirkan Shalat Isya dalam tempo waktu sedikit guna mengumpulkan orang yang hendak jamaah. (Al Fawakih Ad Dawani I/197)

Keutamaan menjalankan shalat di awal waktu, meskipun Shalat Isya’ ini, juga merupakan pendapat Syafi’iyah pada qaul lainnya (qaul qadim), An Nawawi berkata “Yang lebih utama dari dua qaul (pendapat Syafi’i ini) menurut kalangan Syafi’iyah adalah mengerjakan Shalat Isya’ di awal waktu, hanya saja keutamaan mengakhirkan Isya’ memang memiliki dalil yang kuat (Mughni Al Muhtaj I/125, 126 dan Al Majmu li An Nawawi III/57)
Jama’ah ataukah Sendiri

Jika seseorang dihadapkan pada pilihan melaksanakan Shalat Isya’ secara sendirian di waktu yang afdhal atau berjamaah di awal waktu, maka penulis Syarhul Mumti’ berpendapat bahwa yang lebih utama adalah shalat bersama jamaah. Karena hukum berjamaah ini wajib (bagi lelaki), sementara mengakhirkan shalat isya hukumnya mustahab. Jadi tidak mungkin mengutamakan yang mustahab daripada yang wajib.

Namun, jika seseorang dihadapkan pada pilihan melaksanakan Shalat Isya’ berjamaah di akhir waktu atau sendirian di awal waktu, maka yang lebih utama adalah melaksanakannya secara berjamaah di akhir waktu jika tidak ada kepentingan lain.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengakhirkan Shalat Isya’ sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR Al Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)
Batas Waktu Shalat Isya’

Para ulama sepakat bahwa waktu dimulainya Shalat Isya’ adalah hilangnya mega merah di langit barat. Namun, mereka berselisih tentang batas akhir waktu Shalat Isya’. Berikut beberapa pendapat mengenai batas akhir waktu Shalat Isya’:

1. Saat Terbit Fajar Shadiq

Waktu akhir shalat Isya’ adalah ketika terbit fajar shadiq (masuknya Shalat Shubuh) tanpa ada perselisihan antara Imam Abu Hanifah dan pengikut ulama dari ulama Hanafiyah. Pendapat ini juga jadi pegangan ulama Syafi’iyah. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, Atha`, Thawus, dan Ikrimah juga berpendapat seperti ini. Demikian juga Imam An Nawawi. Sebagian kecil ulama Malikiyah juga berpendapat seperti ini.

Dari Abu Qatadah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang ketiduran tidaklah dikatakan tafrith (meremehkan). Sesungguhnya yang dinamakan meremehkan adalah orang yang tidak mengerjakan shalat sampai datang waktu shalat berikutnya.” (HR. Muslim no. 681)

2. Sepertiga Malam Awal

Inilah pendapat yang masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Ini adalah pendapat Umar bin Al Khaththab, dan Abu Hurairah dari kalangan sahabat, serta Umar bin Abdil Aziz.

Dalam hadits, disebutkan mengenai Shalat Isya’ yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jibril mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali. Ia Shalat Zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan kadar bayangan semisal tali sandal. Ia Shalat Ashar bersamaku ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Ia Shalat Maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia Shalat Isya’ bersamaku ketika syafaq telah tenggelam. Ia Shalat Fajar bersamaku ketika makan dan minum telah diharamkan bagi orang yang puasa. Maka tatkala keesokan harinya, Jibril kembali mengimamiku dalam Shalat Zhuhur saat bayangan benda sama dengan bendanya. Ia Shalat Ashar bersamaku saat bayangan benda dua kali bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia Shalat Isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia Shalat Fajar bersamaku dan mengisfarkannya. Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga berada di antara dua waktu yang ada.” (HR. Abu Dawud no. 393, hasan shahih)

3. Membagi Malam Jadi Dua Waktu

Waktu akhir shalat Isya’ adalah sepertiga malam pertama, ini disebut waktu ikhtiyari (waktu pilihan). Sedangkan waktu akhir shalat Isya’ yang bersifat darurat (disebut waktu dharuri) adalah hingga terbit fajar. Waktu darurat ini misalnya ketika seseorang sakit lantas sembuh ketika waktu darurat, maka ia masih boleh mengerjakan Shalat Isya’ di waktu itu. Begitu pula halnya wanita haidh, wanita nifas ketika mereka suci di waktu tersebut. Inilah pendapat ulama Hanabilah.

4. Tengah Malam

Yang berpendapat demikian adalah Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsaur, Ashhabur Ra’yi, Ahmad, Al Bukhari, Ibnu Hazm, dan Imam Asy Syafi’i dalam pendapatnya yang terdahulu.

Dari Abdullah bin ‘Amr ibnul Ash Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu sholat dzuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq. Dan waktu Shalat Isya’ adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)

MENELUSURI DENGAN SEMPURNA










Hadits-hadits Dhaif (Lemah) dan Palsu Tentang Ahlul Bait



Orang-orang Syi’ah Rafidhah menyanjung demikian tinggi para Ahlul Bait,
namun di sisi lain mereka merendahkan para shahabat yang lain. Sikap
yang jelas keliru itu memang didasari oleh kedustaan, yaitu
hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah n namun memiliki
derajat dha’if bahkan maudhu’ (palsu). Berikut ini beberapa contoh
hadits yang dijadikan mereka sebagai hujjah.





Telah menjadi Sunnatullah (ketetapan Allah) bahwasanya musuh-musuh agama baik dari kalangan orang-orang kafir maupun munafiqin, selalu berjuang keras merongrong agama Allah dengan segala cara. Namun demikian, Allah juga telah menetapkan bahwa agama-Nya akan senantiasa terjaga dengan perantaraan para ulama yang menerangkan kepada umat akan bahaya makar-makar busuk mereka. Allah berfirman:

“Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikr dan Kami juga yang menjaganya.” (Al-Hijr: 9)

Sebagaimana telah diketahui, rusaknya agama Nasrani dikarenakan menyusupnya orang-orang Yahudi ke dalam agama Nasrani yang kemudian berhasil melakukan perubahan atas agama tersebut. Selanjutnya, dengan berbagai cara mereka pun berusaha menyusupi agama Islam. Diantara penyusup itu adalah Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi pencetus agama Rafidhah yang sekarang lebih dikenal dengan nama Syi’ah. (Majmu’ Al-Fatawa juz 4 hal. 52)

Orang-orang Syi’ah pengikut Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi mengaku-aku cinta kepada Ahlul Bait Rasulullah n di mana hal itu hanyalah topeng semata untuk menutupi kebusukan yang ada pada mereka.

Segala cara telah mereka lakukan untuk menghancurkan Islam, di antaranya dengan memalsukan hadits-hadits dari Rasulullah n. Namun Allah memilih ulama Ahlus Sunnah yang mengilmui tentang hadits untuk berjihad dengan menerangkan kepada umat hadits-hadits yang didustakan atas nama Rasulullah n dan merupakan kewajiban bagi mereka untuk menerangkan hal yang seperti itu. (Lisanul Mizan juz 1 hal. 98)

Tidak mengherankan bila mereka berani berdusta atas nama Rasulullah n karena memang syiar agama Rafidhah adalah kedustaan yang dilapisi dengan kemunafikan. (Mizanul I’tidal, juz 1 hal. 6)

Dalam kesempatan yang singkat ini kita akan bawakan sejumlah hadits yang dipalsukan Syi’ah Rafidhah beserta keterangan dari ulama ahli hadits khususnya dalam permasalahan ‘ilal hadits (penyakit/ cacat yang ada pada hadits).


Hadits Pertama

“Permisalan Ahlul Baitku bagaikan bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa yang naik di atasnya niscaya dia akan selamat dan siapa yang tidak naik maka dia akan tenggelam dan hanyut.”
Guru besar kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t berkata: “Di sanadnya ada Suwaid bin Sa’id. Dia dha’if (lemah dalam periwayatan hadits) dan Mifdhal bin Shalih seorang munkarul hadits (haditsnya munkar) sebagaimana dikatakan Al-Imam Al-Bukhari. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata: ‘Hadits Safinah Nuh adalah paling mungkar.’ Al-Imam Al-Bukhari berkata: ‘Suwaid bin Sa’id munkarul hadits’.”

Hadits ini diriwayatkan dari jalan yang lain, akan tetapi di situ ada dua perawi yang dha’if, yaitu Al-Hasan bin Abi Ja’far Al-Jufri dan Ali bin Zaid bin Jud’an. Al-Imam Al-Bukhari berkata sebagaimana dalam Mizanul I’tidal pada biografi Al-Hasan bin Abi Ja’far: “Dia munkarul hadits.”
Ibnu ‘Adi berkata: “Dia tidak termasuk orang yang berdusta dengan sengaja.”

Al-Imam Ibnu Hibban berkata: “Dia orang shalih yang sering dikabulkan doanya akan tetapi lalai dalam hadits dan tidak pantas untuk dipakai sebagai hujjah.”
Adapun ‘Ali bin Zaid bin Jud’an, pendapat yang rajih (kuat) tentang dia adalah pendapat Al-Imam Al-Bukhari: “Tidak bisa dipakai sebagai hujjah.”

Kesimpulan yang kita ambil dari hadits ini adalah bahwa hadits ini adalah batil, tidak benar penyandarannya kepada Rasulullah n.
Mungkin di antara para pembaca yang pernah belajar ilmu hadits bertanya, mengapa hadits ini dikatakan hadits yang batil atau hadits yang palsu padahal di situ tidak ada perawi kadzdzab atau wadhdha’ (pendusta/ pemalsu hadits)? Namun demikianlah madzhab yang masyhur dan yang benar di kalangan ahli hadits. Sebuah hadits bisa dihukumi sebagai hadits yang batil meskipun di situ tidak ada perawi yang kadzdzab atau wadhdha’. Kalau bukan karena keterbatasan waktu dan tempat, ada baiknya kita bawakan bukti-bukti dari perkataan ulama ahli hadits dalam hal ini. Akan tetapi cukup dilihat perkataan Al-Imam Yahya Al-Qaththan t. (Tadribur Rawi juz 1 hal. 238)
Sebagaimana Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi berkata tentang hadits ini: “Saya berkata, seandainya hadits-hadits mereka (perawi yang disebut di atas) dihukumi sebagai hadits yang didustakan sangatlah pantas.” (Ath-Thali’ah, hal. 273)


Hadits Kedua

“Wahai Ali, sesungguhnya orang-orang Syi’ah kita (golongan kita) akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti walaupun mereka bergelimangan dengan dosa akan tetapi muka mereka bagaikan bulan purnama. Mereka diselamatkan dari kesulitan-kesulitan dan dimudahkan dari segenap ujian. Aurat mereka tertutupi, batin mereka penuh dengan ketenangan, diberikan kepada mereka keimanan dan rasa aman, telah terangkat segala kesedihan, mereka tidak ketakutan ketika semua orang ketakutan, dan tidak merasa sedih tatkala semua orang bersedih…” (Al-Hadits)
Al-Imam Ibnul Jauzi t berkata: “Ini adalah hadits maudhu’ (palsu).”
Al-Junaid Al-Hafidz t berkata: “Muhammad bin Salim (salah satu rawinya) matruk (ditinggalkan haditsnya).”
Abul Fath Al-Azdi t berkata: “Muhammad bin Salim dan Muhammad bin Ali keduanya dha’if.”


Hadits Ketiga

“Ahlul Baitku seperti bintang di langit, dengan siapapun kalian ikut niscaya kalian akan mendapat hidayah.”
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata di dalam Al-Mukhtashar: “Hadits ini dari tulisan Nabith yang penuh kedustaan.”


Hadits Keempat

“Aku adalah sebuah pohon, Fathimah putiknya, Ali serbuk sarinya, Hasan dan Husain buahnya, orang-orang yang mencintai Ahlul Bait sebagai daunnya dari surga, pasti dan pasti.”
Ibnul Jauzi t berkata: “Ini hadits maudhu’ (palsu), Musa tidak dikenal (maksudnya adalah Musa bin Nu’aimin yang ada di dalam sanad hadits).”


Hadits Kelima

Ibnu ‘Abbas berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah n tentang kalimat-kalimat yang diterima Adam dari Allah sehingga Allah mengampuninya?” Rasulullah n berkata: “(Kalimat itu adalah): Dengan hak Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, engkau bertaubat kepada-Ku, maka Allah mengampuni Adam.”
Ibnul Jauzi t berkata: Ad-Daruquthni berkata: “Amr bin Tsabit meriwayatkan hadits ini sendirian dari bapaknya Abil Miqdam, dan tidak meriwayatkan darinya kecuali Husain Al-Asyqar.” Ibnu Ma’in berkata: “Amr bin Tsabit bukan orang yang bisa dipercaya.” Ibnu Hibban berkata: “Dia memalsukan hadits-hadits dari perawi-perawi yang tsiqah (yang diterima haditsnya).”
Ibnu Katsir t ketika menafsirkan Surat Asy-Syura ayat 23, beliau mengatakan: “Dia (yakni ‘Amr bin Tsabit) adalah seorang Syi’ah yang pendusta.”

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t berkata: “Hadits ini dan yang semisalnya adalah hadits palsu yang dipakai oleh tukang khurafat untuk dijadikan landasan dalam membolehkan berdoa kepada orang-orang yang telah mati.” (Ath-Thali’ah, hal. 230)


Hadits Keenam

“Rasulullah n sujud lima kali tanpa ruku’, beliau berkata: “Jibril telah datang kepadaku dan berkata: ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah mencintai Fathimah,’ maka aku sujud. Kemudian dia datang dan berkata: ‘Allah mencintai Fathimah (untuk kedua kalinya),’ maka akupun sujud. Kemudian dia datang dan berkata: ‘Allah mencintai Hasan dan Husain,’ aku pun sujud. Lalu aku mengangkat kepalaku, kemudian dia datang lagi dan berkata: ‘Allah mencintai orang-orang yang mencintai keduanya,’ maka aku pun sujud lagi. Lalu aku mengangkat kepalaku, kemudian dia datang lagi dan berkata: ‘Allah mencintai orang-orang yang mencintai keduanya,’ maka akupun sujud lagi.”

Al-Imam Ibnul Jauzi t berkata: Ibnu ‘Adi berkata: “Ini hadits batil, melalui sanad ini dan kedustaan yang basi.” Karena Al-Mu`tamin (salah seorang rawinya) tidak meriwayatkan dari Al-Auza’i sedikitpun. Abdullah bin Hafs memberikan kepada kami hadits yang kami tidak ragu tentang kedustaannya.”


Hadits Ketujuh

“Kenapa Fathimah dinamakan Fathimah, dikarenakan Allah fathoma (membebaskan) orang-orang yang mencintainya dari neraka.”
Ibnul Jauzi t berkata: “Ini hasil olah tangan Al-Ghilabi dan telah kami sebutkan dari Ad-Daraquthni bahwa ia seorang pemalsu hadits.”


Hadits Kedelapan

“Hai Ali, sesungguhnya Allah menikahkanmu dengan Fathimah dan Allah jadikan bumi sebagai maharnya. Barangsiapa berjalan dengan membencimu maka dia berjalan dengan haram.”
Ibnul Jauzi t berkata: “Ini hadits palsu, di situ ada sejumlah perawi yang di-jarh (dicacat). Hanya saja yang tertuduh memalsukan hadits ini adalah Adz-Dzaari, karena dia pendusta dan pemalsu hadits.”


Hadits Kesembilan

“Barangsiapa mencintai aku, hendaknya dia mencintai Ali. Barangsiapa membenci Ali, dia telah membuatku marah. Dan barangsiapa membuatku marah maka sungguh dia telah membuat Allah murka, dan barangsiapa membuat Allah murka niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam neraka.”
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: Al-Khathib berkata: “Ini hadits palsu.”


Hadits Kesepuluh

“Ali adalah imam orang-orang yang baik dan pembunuhnya orang yang fajir. Akan ditolong orang-orang yang menolongnya dan akan ditinggalkan orang-orang yang meninggalkannya.”
Di dalam sanadnya terdapat Ahmad bin Abdillah bin Yazid Al-Harrani. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t berkata: Ibnu ‘Adi berkata sebagaimana di dalam Al-Mizan: “Ahmad bin Abdillah bin Yazid memalsukan hadits.”


Hadits Kesebelas

“Hai Ali, andaikata ada seorang hamba yang beribadah selama 1.000 tahun dan berinfak emas di jalan Allah sebesar gunung Uhud, melaksanakan ibadah haji selama 1.000 tahun dengan kedua kakinya kemudian terbunuh dalam keadaan didzalimi antara Shafa dan Marwa tetapi tidak loyal kepadamu, niscaya dia tidak akan mencium bau jannah (surga).”
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t berkata: “Hadits ini palsu, demikian disebutkan Al-Imam Adz-Dzahabi dalam biografi Muhammad bin Abdillah Al-Balwi.”


Hadits Keduabelas

“Allah menurunkan wahyu kepadaku tiga perkara tentang Ali di kala aku Isra Mi’raj: ‘Bahwa dia adalah pemimpin mukminin, imam orang-orang bertakwa, dan pemimpin orang-orang yang bermuka putih dan bercahaya (di hari kiamat nanti).”

Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t berkata (menukil dari Asy-Syaikh Al-Albani t): “Hadits ini palsu.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Ini hadits palsu yang telah diketahui oleh semua orang yang mengenal ilmu hadits, meski ia masih sedikit sekali ilmunya.”
Demikian beberapa hadits yang kami nukil dari kitab Ath-Thali’ah fir Radd ‘ala Ghulatis Syi’ah karya Al-Imam Muqbil bin Hadi t.


Hadits Keduabelas

“Aku adalah kota ilmu dan ‘Ali adalah pintunya, maka barangsiapa yang menginginkan ilmu hendaknya dia mendatangi dari pintunya.”
Hadits ini palsu. Adz-Dzahabi menyatakan maudhu’ (palsu), demikian juga Al-Albani (dalam Adh-Dha’ifah 6/518, no. 2955 dan dalam Dha’iful Jami’ no. 13220).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: Hadits “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya…” lebih lemah dan lebih lembek., oleh karena itu tergolong palsu walaupun diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. Dan disebutkan oleh Ibnul Jauzi (yakni dalam Al-Maudhu’at -ed) lalu beliau terangkan bahwa seluruh sanadnya palsu dan kedustaan itu tampak dari matan hadits itu sendiri. Karena apabila Nabi n sebagai kota ilmu dan tidak ada pintunya kecuali satu, dan tidak ada yang menyampaikan ilmu dari beliau kecuali satu orang, tentu urusan Islam akan rusak…..” (Minhajus Sunnah, 4/138-139, dinukil dari Adh-Dha’ifah) [ed]

Masih banyak lagi hadits lain yang dipalsukan oleh Syi’ah Rafidhah atas nama Rasulullah n. Padahal dusta atas nama Rasulullah n adalah dosa yang sangat besar yang diancam dengan neraka. Sebagaimana Al-Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan, beliau berkata: ‘Ali bin Al-Ja’d mengabarkan kepadaku, dia berkata: Syu’bah mengabarkan kepadaku, ia berkata: Manshur mengabarkan kepadaku, ia berkata: Aku mendengar Rib’i bin Hirasy berkata: Aku mendengar ‘Ali berkata: Nabi berkata:

“Janganlah berdusta atas namaku, karena barangsiapa berdusta atas namaku hendaklah ia masuk ke dalam neraka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 106)
Para ulama menyebutkan bahwa kedustaan Syi’ah Rafidhah merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak kesamaan Syi’ah Rafidhah dengan Yahudi. (Al-Ilhad Al-Khumaini, hal. 209). Lihat juga surat Ali ‘Imran ayat 78.

Terlalu banyak kesamaan antara Yahudi dengan Syi’ah Rafidhah yang membuat kita yakin bahwa agama Syi’ah Rafidhah adalah susupan dari Yahudi yang berusaha menghancurkan Islam.
Namun ada ‘nilai lebih’ Yahudi dan Nasrani dibandingkan Syi’ah dari satu segi yaitu ketika ditanyakan kepada orang-orang Yahudi: “Siapa orang-orang terbaik di dalam agama kalian?” serta merta mereka menjawab: “Para shahabat Musa.”

Bila orang-orang Nasrani ditanya: “Siapa orang-orang terbaik di dalam agama kalian?” Mereka akan menjawab: “Shahabat-shahabat Isa.” Dan bila orang-orang Syi’ah Rafidhah ditanya: “Siapa orang-orang terjelek di dalam agama kalian?” Maka mereka menjawab: “Shahabat-shahabat Muhammad.” Dan sangat sedikit yang mereka kecualikan. (Syarh Ath-Thahawiyyah, hal. 470)

Akankah masih ada di antara kaum muslimin yang tetap berbaik sangka dengan Syi’ah Rafidhah yang dengan terang-terangan menghinakan agama Islam dan mendustakan kitab suci Al Qur`an? Maka mohonlah kepada Allah wahai kaum muslimin, agar kita diselamatkan dari virus Syi’ah Rafidhah, yang demi Allah, lebih berbahaya 1.000 kali dari virus AIDS.

Tidak bisa kita terus berbaik sangka kepada setiap kelompok yang berdakwah kepada Islam, karena yang membawa kebenaran cuma satu sebagaimana hal ini telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (juz 4 hal. 187) dan Muslim (juz 6 hal. 54) dari jalan Abdurrahman bin Yazid bin Jabir dari ‘Umair bin Hani` dari Mu’awiyah dari Rasulullah n, beliau berkata yang artinya: “Akan senantiasa satu kelompok dari umatku yang berada di atas kebenaran, tidak membahayakan dan merugikan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka sampai (menjelang) hari kiamat.”
Dalam hadits di atas Rasulullah n menjelaskan bahwa yang membawa kebenaran adalah satu kelompok saja. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti dengan baik jalan para shahabat Rasulullah n. Allah berfirman:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubat: 100)

Demikianlah Allah menjelaskan kepada kita bagaimana cara mendapat ridha Allah, yaitu dengan mengikuti jalan para shahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar dalam mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Wabillahit taufiq.

Sumber : asysyariah.com

http://inilah-bukti-kesesatan-syiah.blogspot.com/2012/11/hadits-hadits-dhaif-tentang

KATA KATA BIJAK ISLAM



Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya

-Khalifah Ali bin Abi Talib-



Ilmu
itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga
harta. Ilmu itu penghukum

(hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang
apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.

-Khalifah Ali bin Abi Talib-



Nilai
seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan
kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya
terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar
kepekaannya terhadap kehormatan dirinya.

-Khalifah Ali bin Abi Talib-



Orang
yang terlalu memikirkan akibat dari sesuatu keputusan atau tindakan,
sampai bila-bilapun dia tidak akan menjadi orang yang berani.

-Khalifah Ali bin Abi Talib-



Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat.

–Khalifah Ali bin Abi Thalib-



Ketahuilah
bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat
kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh
itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh
permasalahan akan rusak.

–Khalifah Ali bin Abi Thalib-



Selemah-lemah
manusia ialah orang yg tak mau mencari sahabat dan orang yang lebih
lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari.

–Khalifah Ali bin Abi Thalib-



Perkataan sahabat yg jujur lebih besar harganya daripada harta benda yg diwarisi darinenek moyang.

–Khalifah Ali bin Abi Thalib-



Selemah-lemah
manusia ialah orang yg tak boleh mencari sahabat dan orang yang lebih
lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari

–Khalifah Ali bin Abi Thalib-



ABU BAKAR :

1.
Sesungguhnya seorang hamba itu bila merasa ujub kerana suatu perhiasan
dunia, niscaya Allah akan murka kepadanya hingga dia melepaskan
perhiasan itu.

2. Semoga aku menjadi pohon yang ditebang kemudian digunakan.

3.
Dia berkata kepada para sahabat,”Sesungguhnya aku telah mengatur urusan
kamu, tetapi aku bukanlah org yg paling baik di kalangan kamu maka
berilah pertolongan kepadaku. Kalau aku bertindak lurus maka ikutilah
aku tetapi kalau aku menyeleweng maka betulkan aku!”



UMAR BIN KHATTAB :

1.
Jika tidak karena takut dihisab, sesungguhnya aku akan perintahkan
membawa seekor kambing, kemudian dipanggang untuk kami di depan pembakar
roti.

2. Barangsiapa takut kepada Allah SWT nescaya tidak akan dapat
dilihat kemarahannya. Dan barangsiapa takut pada Allah, tidak sia-sia
apa yang dia kehendaki.

3. Wahai Tuhan, janganlah Engkau jadikan
kebinasaan umat Muhammad SAW di atas tanganku. Wahai Tuhanku, umurku
telah lanjut dan kekuatanku telah lemah. Maka genggamkan (matikan) aku
untukMu bukan untuk manusia.



SAYIDINA ALI KARAMALLAHU WAJHAH :

1.
Cukuplah bila aku merasa mulia karena Engkau sebagai Tuhan bagiku dan
cukuplah bila aku bangga bahawa aku menjadi hamba bagiMu. Engkau bagiku
sebagaimana yang aku cintai, maka berilah aku taufik

sebagaimana yang Engkau cintai.

2.
Hendaklah kamu lebih memperhatikan tentang bagaimana amalan itu
diterima daripada banyak beramal, kerana sesungguhnya terlalu sedikit
amalan yang disertai takwa. Bagaimanakah amalan itu hendak diterima?

3. Janganlah seseorang hamba itu mengharap selain kepada Tuhannya dan janganlah dia takut selain kepada dosanya.

4.
Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak ada ilmunya dan tidak ada kebaikan
ilmu yang tidak difahami dan tidak ada kebaikan bacaan kalau tidak ada
perhatian untuknya.



UMAR BIN AZIZ :

1. Orang yang bertakwa itu dikekang.

2. Sesungguhnya syubhat itu pada yang halal.

3. Kemaafan yang utama itu adalah ketika berkuasa.



SUFFIAN AS THAURI :

1. Tidak ada ketaatan bagi kedua ibu-bapa pada perkara syubhat.

2.
Sesungguhnya seorang lelaki itu berharta bila dia zuhud di dunia, dan
sesungguhnya seorang itu adalah fakir bila dia gemar pada dunia.

3. Menuntut ilmu lebih utama daripada solat sunat.”



Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus menerus meski hanya sedikit. (Muhammad SAW)



Akan kuberikan ilmu yang kumiliki kepada siapapun, asal mereka mau memanfaatkan ilmu yang telah kuberikan itu. (Imam Syafi’i)



Jangan sampai ayam jantan lebih pandai darimu. Ia berkokok di waktu subuh, sedang kamu tetap lelap dalam tidur. (Lukman Hakim).



Apabila
secara kebetulan kamu menjadi orang yang dekat dengan penguasa, maka
berhati-hatilah kamu seolah-olah kamu sedang berdiri di atas pedang yang
tajam sekali. (Imam Ghozali)



Aku tak suka memakai baju baru, hal
itu kulakukan karena aku takut timbul iri hati tetangga-tetanggaku.
(Abu Ayub as-Sakhtayani).



Allah telah memberikan petunjuk
kepadaku sehinga aku bisa mengenali diriku sendiri dengan segala
kelemahan dan kehinaanku. (Ali BinAbu Thalib).



Andaikata
seseorang mau memikirkan kebesaran Allah, maka ia takkan sampai hati
untuk melakukan perbuatan perbuatan dosa. (Bisyir)



Sifat rendah
hati, yaitu taat dalam mengerjakan kebenaran dan menerima kebenaran itu
yang datangnya dari siapapun. (Fudlail bin Iyadl).



Dalam shalatku
selama 40 tahun, aku tak pernah lupa mendo’akan guruku yang bernama
Imam Syafi’i. Itu kulakukan karena aku memperolah ilmu dari Allah lewat
beliau. (Yahya bin Said al-Qathan).



Orang yang beramal tanpa didasari ilmu, maka amalnya akan sia-sia belaka, karena tidak diterima oleh Allah. (Ibnu Ruslan).



Fikiran merupakan sumber dari ilmu, sedang ilmu itu sendiri merupakan sumber amal. (Wahb).



Orang
yang mengerti ilmu fikih berarti ia bisa makrifat kepada Allah dengan
ilmunya menyebabkan ia kenal kepada-Nya. Bahkan dengan ilmunya ia bisa
mengajar orang lain sampai pandai. (Syeikh Izzuddin bin Abdussalam).



Jangan
berteman yang hanya mau menemanimu ketika kamu sehat atau kaya, karena
tipe teman seperti itu sungguh berbahaya sekali bagi kamu dibelakang
hari.(Imam Ghozali).



Jika ada musuh yang bisa mendekatkan kamu
kepada Allah, maka hal itu lebih baik dari pada teman akrab yang
menjauhkan kamu dari Allah. (Abul Hasan as-Sadzili).



Wahai
Sayyidina Ali! Ketahuilah olehmu bahwa ada dua golongan yang celaka di
hadapanmu. Pertama yaitu yang terlalu cinta kepadamu. Dan kedua yang
terlalu benci kepadamu. (Nabi MUHAMMAD SAW).



Orang yang bijak
tidak akan terpeleset oleh harta, dan meski terpeleset, ia akan tetap
mendapatkan pegangan. (Abdullah bin Abbas).



Berfikir sesaat sungguh lebih mengesankan ketimbang mengerjakan shalat sepanjang malam. (Hasan Bashri).



Hal-hal
yang bisa menyebabkan badan lemah antara lain sebagai berikut: Banyak
makan makanan yang rasanya masam, sering bersedih, banyak minum air
tetapi tidak makan sesuatu, serta sering melakukan hubungan seksual.
(Imam Ghazali).



Barang siapa tidak mencintai untuk agama dan
membenci untuk agama, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya ia tidak
memiliki agama. (Abu Abdilah al- Shdiq).



Berhati-hatilah dari
berteman dengan : Ulama yang bersikap tak peduli, pecinta ajaran sufi
yang bodoh serta pemimpin-pemimpin yang lalai. (Sahl bin Abdullah).



Inginkan
sesuatu dengan bakat yang kau miliki, dan jangan menginginkan sesuatu
sesuai dengan nafsu atau seleramu. (Lukman Hakim).



Bagi orang
berilmu yang ingin meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, maka
kuncinya hendakalah ia mengamalkan ilmunya kepada orang-orang. (Syaikh
Abdul Qodir Jailani).



Merenungkan tentang nikmat Allah sungguh merupakan salah satu ibadah yang utama. (Umar bin Abdul Azis).



Teman
yang tidak membabantu kesulitan seperti halnya musuh. Tanpa saling
membantu maka hubungan teman tak akan lama. Telah kucari teman sejati
dalam setiap masa, akan tetapi usahaku itu siasia belaka. (Imam Syafií).



Lihatlah
orang-orang yang dibawahmu dalam usrusan harta dunia, dan jangan
sekali-kali melihat yang berada di atasmu, supaya kamu tidak meremehkan
karunia Allah yang diberikan kepadamu. (Nabi MUHAMMAD SAW).



Sedikit
makan, sedikit tidur, dan sedikit kesenangan merupakan ciri-ciri orang
yang dicintai oleh Allah. (Abu Bakar bin Abdullah Al-Muzani).



Barang siapa senang menjadi pemimpin, maka ia tidak akan mendapat kemenagan untuk selama-lamanya. (Fudhail bin Iyadh).



Siapa
yang pada hari ini hanya memikirkan dirinya sendiri maka pada esok
iapun akan memikirkan dirinya saja. Lebih dari itu, siapa yang pada hari
ini memikirkan Allah maka besok ia akan selalu memikirkan Allah pula.
(Abu Sulaiman).



Bersikap sabar kepada kawan yang berbuat jelek
kepadamu sungguh lebih baik dari pada mencacinya. mencaci lebih baik
dari pada memutuskan talisilaturahmi. Dan memutuskan tali silaturahmi
lebih baik dari pada bertengkar. (Seorang Ulama).



Allah tidak
memberi kekuatan terhadap orang-orang alim lewat suatu paksaan, akan
tetapi Allah menguatkan mereka lewat pintu iman. (Sahl Ibnu Abdullah).



Ketahuilah
olehmu, sesungguhnya akal hanya merupakan sesuatu alat untuk mencapai
segala sesuatu yang hanya berhubungan dengan hamba atau manusia, bukan
untuk mencapai Allah. (Ibnu Atha).



Jangan sekali-kali kamu
menganggap remeh kebajikan meski kelihatannya tidak berharga, yaitu
seperti ketika kamu menyambut temanmu dengan menampakkan wajah
berseri-seri. (Nabi Muhammad SAW).



Jika seseorang mati dalam
keadaan punya hutang, padahal orang itu mampu membayarnya ketika masih
hidup di dunia, maka kebahagiaannya akan diambil dan diberikan kepadanya
dosa orang yang di hutanginya, lalu ia dijebloskan ke neraka. Namun,
jika memang tidak mampu membayarnya, maka hanya kebaikannya saja yang
diambil, lalu diberikan kepada pihak yang dihutangi. sedang dosa si
pemberi hutang tidak diberikan kepada orang yang berhutang. (Ibnu
Abdusalam).



Jalan yang diajarkan syariát islam adalah jalan yang
paling tepat dalam pengerjaan ibadah kepada Allah. Karena itu
bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah istiqomah dalam mengerjakan
perintah-perintahnya dan menjauhi larangannya. (Abdu Khodir jailani).



Hendaklah kamu tetap berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu. (Lukman Hakim).

Kebahagiaanku
jika mati sebelum baligh lalu aku dimasukkan kedalam syurga, tidak
sebahagia jika aku hidup sampai tua dalam keadaan mengenal Allah yaitu
yang paling bertaqwa, rajin mengerjaklan ibadah serta menerima apa apa
yang telah di berikan Allah kepadaku. (Ali bin Abu Tholib).



Jika
Allah bersamamu, maka jangan takut kepada siapa saja, akan tetapi jika
Allah sudah tidak lagi bersamamu, maka siapa lagi yang bisa diharapkan
olehmu? (Hasan al Banna).



Barang siapa tidak peduli terhadap
nasib agama, berarti ia tidak punya agama, barang siapa yang semangatnya
tidak berkobar-kobar jika agama Islam ditimpa suatu bencana, maka Islam
tidak butuh kepada mereka. (Imam al-Ghazali).



Ilmu menginginkan
untuk diamalkan. Apabila orang mengamalkannya, maka ilmu itu tetap ada.
Namun sebaliknya, jika tidak diamalkan, maka ilmu akan hilang dengan
sendirinya. (Sufyan ats-Tsauri).



Ketahuilah bahwa sesungguhnya
ilmu yang bisa melahirkan rasa takut kepada Allah adalah ilmu yang
paling baik. (Ibnu Athaillah as-Sakandari).



Bekerjalah untuk
keperluan makanmu. Sedang yang paling baik bagi kau yaitu bangun di
tengah malam dan berpuasa di siang hari. (Ibrahim bin Adham).



Jalan
apa saja yang ditempuh seseorang dalam mengerjakan ibadah adalah sesaat
kecuali jalan yang ditempuh oleh Muhammad SAW. Dalam pada itu, siapapun
yang tidak mengikuti petunjuk kitab suci Al-Qurán dan hadits nabi, maka
janganlah ia mengikuti pendapatku. Hal itu karena pendapatku berasal
dari Qurán –Hadits. (Imam al-Junaid).



Orang yang tidak percaya bahwa Allah telah menjamin rezekinya, maka ia akan mendapat laknat dari Allah. (Hasanal-Bashri).



Dzikir seperti halnya jiwa dari semua amal, sedang keutamaan dan kelebihan dzikir tidak bisa dibatasi. (AL-Qusyairi).



Orang-orang
yang tidak mengikuti keinginan-keinginan hawa nafsunya, maka tidak akan
mendapat pujian dari orang banyak. (Imam al-Ghazali).



Orang
dermawan dekat kepada Allah, dekat pada rahmat-Nya, serta selamat dari
siksa-Nya. Sedang orang kikir, jauh dari Allah, jauh dari rahmat-Nya dan
dekat sekali kepada siksa-Nya. (Nabi Muhammad SAW).



Barang siapa tidak meghargai nikmat, maka nikmat itu akan diambil dalam keadaan ia tidak mengetahuinya. (Siriy Assaqathi).



Mengerjakan
sesuatu sesuai dengan ketentuan hukum syara’ berarti menuju jalan
kebahagiaan baik di dunia lebih-lebih di akhirat. Dan hendaklah kamu
merasa takut jika kamu berpisah dengan orang-orang yang ahli di bidang
agama. (Syaikh Abdul Qadir Jailani).



Saya merasa heran kepada
orang-orang yang mengerjakan shalat subuh setelah matahari terbit. Lalu
bagaimana mereka diberi rezeki. (Ulama Shalaf).



Para pembuat peti
jenasah mengira bahwa tidak ada yang lebih busuk melebihi mayat
orang-orang yang beriman. Bahkan diterangkan oleh Allah : Perut ulama
jahat sungguh lebih busuk baunya dari itu. (Al-Auzaí).



Orang yang
hanya sehari-harinya hanya sibuk mencari uang untuk kesejahteraan
keluarganya, maka mustahil ia mendapat ilmu pengetahuan. (Imam Syafií).



Tanda
tanda orang yang celaka antara lain: Bergairah dalam mengerjakan
perbuatan-perbuatan haram, menjauhi nasihat (Nabi MUHAMMAD SAW).



Manisnya akhirat mustahil diraih oleh orang-orang yang suka terkenal di mata manusia. (Bisyir).



Dengan
pengalaman akan bertambah ilmu pengetahuannya, dengan berdzikir
menyebabkan bertambah rasa cinta dan dengan berfikir akan menambah rasa
taqwa kepada Allah. (Hatim).



Aku akan mencari ilmu hanya karena Allah, dan aku tidak akan mencari jika untuk selain Allah. (Imam al-Ghazali).



Berfikir merupakan cermin untuk melihat apa-apa yang baik dan yang buruk pada dirimu. (Fudhail).



Ketahuilah bahwa satu majelis ilmu bisa menghapus dosa 70 majelis yang tidak ada gunanya. (Atha’bin Yassar).



Kulupakan dadaku dan kubelenggu penyakit tamakku, karena aku sadar bahwa sifat tamak bisa melahirkan kehinaan. (Imam Syafií).



Biasakan hatimu untuk bertafakur dan biasakan matamu dengan sering menangis. (AbuSulaiman ad-Darani).



Hidup
didunia hanya merupakan tempat tinggal sementara untuk melanjutkan
perjalanan nan jauh menuju keabadian. (Nabi MUHAMMAD SAW)



Setiap manusia hendaknya memperhatikan waktu dan sekaligus mengutamakannya. (Umar bin Utsman al-Maliky).



Apabila
kamu melihat seseorang sedang memanjatkan doá kepada Allah, tetapi
disisi lain perbuatannya tidak sesuai dengan hukum syara’, maka jauhilah
orang itu. (Abdul Qasim an-Nawwawi).



Kuakui bahwa dosaku banyak
sekali. Tapi, aku sadar, sesungguhnya rahmat Allah lebih luas dan lebih
besar dari dosa-dosaku. (Abu Nawas).



Jika kamu berhadapan dengan
gurumu, sesungguhnya secara hakikat kamu sedang berhadapan dengan rasul.
Sadar akan hal itu, maka hormatilah gurumu. (Sebagian Ulama).



Setiap
kamu adalah pemimpin, yaitu : Pemimpin terhadap diri dan keluarganya,
pemimpin terhadap masyarakat dan bangsanya.( Mousthafaal-Gholayaini).



Pengkhianatan
yang paling besar adalah pengkhianatan umat, sedang pengkhianat yang
paling keji yaitu pengkhianatan pemimpin. (Ali bin Abu Thalib).



Berteman
dengan orang yang bodoh yang tidak mengikuti ajakan hawa nafsunya
sungguh lebih baik bagi kamu ketimbang berteman dengan orang alim tapi
suka terhadap nafsuya. (Ibnu Athaillah as-Sakandari).



Siapa takut
kepada Allah, maka tidak hidup marahnya, Siapa yang bertaqwa
kepada-Nya, niscaya tidak mengerjakan sesukanya. (Umar bin Khathhab).



Ya Allah! Seandainya Engkau akan mengadili kelak pada hari kiamat, maka jangan Kau adili aku di dekat (Nabi Muhammad SAW)



karena aku merasa malu jika mengaku sebagai umatnya padahal hidupku penuh dengan perbuatan dosa. (Muhammad Iqbal).



Cintai dan sayangilah para fakir miskin, maka Allah akan menyayangimu. (Nabi MUHAMMAD SAW).



Hendaklah kamu menjauhi keramaian orang banyak atau berúzlah,. Katakan demikian, karena orang banyak bisa

menyebabkan kamu berpaling dari Allah serta mendorong kamu untuk berbuat dosa. (Sayyid Bakri al-Maliki).



Yang disebut orang sufi, yaitu orang yang hatinya bersih dan selalu mengingat Allah. (Basyar bin al-Harits).



Tidak
ada suatu kebahagiaan bagi ornag-orang muslim setelah mereka memeluk
Islam, seperti kebahagiaan mereka ketika itu. (Anas r.a.).



Telah
kurangkum pendapat 70 orang shiddiqin. Mereka sebagaian besar
berpendapat bahwa banyak minum bisa menyebabkan banyak tidur. (Ibrahim
bin Khawwas).



Aku tidak pernah melihat orang yang berakal, melainkan kutemukan dia takut kepada mati dan merasa susah dengannya. (Hasan).



Aku tidak pernah berdialog dengan seseorang dengan tujuan aku lebih senang jika ia berpendapat salah. (Imam Syafií).



Barang
siapa tidak dicoba dengan bencana atau kesusahan, maka tidak ada sebuah
kebahagiaanpun baginya di sis Allah. (Adh-Dhahhak).



Perbanyaklah
kamu mengingat mati, karena hal itu bisa membersihkan dosa dan
menyebabkan zuhud atau tidak cinta kepada dunia. (Nabi MUHAMMAD SAW).



Orang
yang cinta kepada Allah akan minum dari gelas kecintaan dan bumi
menjadi sempit baginya. Ya, dia mengenal Allah dengan penuh ma’rifat
kepada-Nya, tenggelam di samudra rindu kepada-Nya dan merasa asyik
bermunajat kepada-Nya. (Asy-Syubali).



Aku suka mendoákan
saudara-saudaraku sebanyak 70 orang, dan nama-nama mereka kusebut satu
persatu dalam panjatan doáku itu. (Abu Darba).



Setiap manusia
mempunyai orang yang dicintai dan yang dibenci. Tapi bagimu, jika ada
maka berkumpullah kamu dengan orang-orang yang bertaqwa. (Imam Syafií).



Orang
orang terdahulu jika pergi kerumah gurunya, maka mereka senantiasa
memberi sesuatu untuk minta berkah. Bahkan mereka selalu menyenandungkan
doá seperti ini: wahai Allah!”Ampunilah semua kesalahan guruku
terhadapku, dan jangan sekalai-kali engkau menghilangkan berkah ilmunya
untukku. (Sebagaian Ulama).



Jika aku mandapat ampunan dari Allah,
maka hal itu merupakan rahmat yang sangat besar dari-Nya. Tetapi, jika
sebaliknya, maka aku tidak akan mampu berbuat apapun. (Abu Nawas).



Pangkal dari seluruh kebaikan di dunia maupun di akhirat adalah taqwa kepada Allah. (Abu Sulaiman Addarani).

Orang
yang ma’rifat kepada Allah, maka ia terikat dengan cintannya, hatinya
bisa melihat dan amal ibadahnya selalu bertambah banyak kepada-Nya.
(Dzinnun al-Mishry).



Siapa yang memenuhi hatinya dengan
kewaspadaan dan keikhlasan, maka Allah akan menghiasi badannya sebagai
pembela agama dan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup.

Yang
disebut dengan teguh hati adalah memegang dengan sungguh-sungguh apa-apa
yang dibutuhkan oleh kamu dan membuang yang selain itu. (Aktssam bin
Shaifi).



Orang yang terkaya yaitu orang yang menerima pembagian Allah dengan rasa senang. (Ali bin Husein).

Kerjakan apa saja yang telah menjadi hak dan kewajibanmu, karena kebahagiaan hidupmu terletak di situ. (Musthafa al-Gholayani).



Ada
dua hal tidak tertandingi kejelekannya, yaitu: Berbuat syirik dan
membuat rugi umat Islam. Begitu pula, terdapat dua perkara yang tidak
tertandingi kebaikannya, ialah : Beriman kepada Allah, serta memberi
manfaat kepada umat Islam. (Kanjeng Nabi).



Pedagang yang berhati
lemah takkan pernah untung ataupun rugi. Malah ia rugi. Ya, seseorang
harus menyalakan api supaya memperoleh cahaya. (Jalaludin Rumi).



Aku
membaca sebagian kitab kuno, yang kandungannya ialah : Bahwasannya
sebagian hal yang dipercepat siksaannya dan tak dapat ditunda adalah
amanat itu dikhianati , kebaikan ditutupi, keluarga diputuskan dan
meninds manusia. (Kholid ar-Robaí).



Memerintah atau mengawasi
diri sendiri jauh lebih sulit dan lebih baik dari pada memerintah dan
mengawasi sesuatu negeri. (Ibrahim bin Adham).



Ciri-ciri ulama
akhirat antara lain: dia sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, bahkan
bersikeras untuk tidak bertaqwa sama sekali. Apabila ditanya oleh orang
tentang segala sesuatu yang diketahui baik yang bersumber dari Al
Qurán, hadits, ijma’dan kiyas, maka ia menjelaskan sesuai dengan
kemampuannya. Sebaliknya, jika ia tidak mengetahui secara pasti, maka
dengan jujur ia berkata : aku tidak tahu. (Imam al-Ghazali).



Hati-hatilah
terhadap senda gurau, karena tidak sedikit bahaya yang terdapat
didalamnya. Berapa banyak senda gurau anatara dua sahabat yang berakhir
pada perkelahian.

Dunia adalah perniagaan, pasarnya ialah menyendiri, modalnya adalah taqwa, dan labanya adalah surga. (Aku Sulaiman ad-Darani).



Kehidupan
seorang mukmin ibarat matahari, terbenam di suatu wilayah untuk terbit
di wilayah lainnya. Dia selalu bersinar dan hidup serta tak pernah
terbenam selamanya. (Muhammad Iqbal).



Keluarlah dari dirimu dan
serahkanlah segalanya kepada Allah. Penuhi hatimu dengan Allah.
Patuhilah kepada perintah-Nya dan larikanlah dirimu dari larangan-Nya,
supaya nafsu badaniahmu tidak memasuki hatimu setelah ia keluar. Untuk
membuang nafsu-nafsu badaniah dari hatimu, kamu harus berjuang
melawannya dan jangan menyerah kepadanya dalam keadaan bagaimanapun juga
dan dalam tempo kapanpun juga. (Syeikh Abdul QadirJailani).



Kejahatan
yang dibalas dengan kejahatan adalah akhlak ular. Kebajikan yang
dibalas dengan kejahatan adalah akhlak buaya. kebajikan yang dibalas
dengan kebajikan adalah akhlak anjing. Kejahatan yang dibalas dengan
kebajikan itulah akhlak manusia. (Nasirin).



Saya tidak bangga
dengan keberhasilan yang tidak saya rencanakan sebagaimana saya tidak
akan menyesal atas kegagalan yang terjadi di ujung usaha maksimal.
(Harun Al Rasyid)



Ilmu itu lebih baik daripada harta, ilmu
menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan
harta terhukum. Harta itu akan berkurang jika dibelanjakan tetapi ilmu
akan bertambah jika dibelanjakan. (Ali bin Abi Thalib ra)



Setiap
orang di dunia ini adalah seorang tamu, dan uangnya adalah pinjaman.
Tamu itu pastilah akan pergi, cepat atau lambat, dan pinjaman itu
haruslah dikembalikan. (Ibnu Mas’ud)



Niat adalah ukuran dalam
menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar,
maka perbuatan itu benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu
buruk. (Imam An Nawawi)



Memohonlah kepada Allah supaya
memperbaiki hati dan niatmu, karena tidak ada sesuatu yang paling berat
untuk kau obati selain keduanya. Ketika hatimu sedang menghadap (Allah)
maka seketika mungkin untuk berpaling, maka ketika menghadap itulah
engkau harus merampasnya supaya tidak berpaling. (Uwais al Qarni/
Bahjatul Majalis, Ibnu Abdil Barr)



Sesungguhnya apabila badan
sakit maka makan dan minum sulit untuk tertelan, istirahat dan tidur
juga tidak nyaman. Demikian pula hati apabila telah terbelenggu dengan
cinta dunia maka nasehat susah untuk memasukinya. (Malik bin
Dinar/Hilyatul Auliyaa’)



Allah SWT memerintahkan kita untuk mau
berpikir tentang penciptaan-Nya yang begitu menakjubkan, rumit, dan
kompleks. Namun semua itu telah Allah SWT tundukan untuk kita. Ini
sebagai tanda bahwa manusia memiliki kemampuan (dari Allah) untuk
menundukan apa yang ada di langit dan di bumi. (MI)



Pelajarilah
Ilmu, karena mempelajarinya karena Allah adalah khasyah, Menuntutnya
adalah ibadah, mempelajarinya adalah Tasbih, mencarinya adalah Jihad,
Mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahui adalah Shadaqah,
menyerahkan kepada ahlinya adalah Taqarrub. Ilmu adalah teman dekat
dalam kesendirian dan sahabat dalam kesunyian. (Muadz bin Jabal ra)



Janganlah
kau tuntut Tuhanmu karena tertundanya keinginanmu, tetapi tuntutlah
dirimu sendiri karena engkau telah menunda adabmu kepada Allah. (Syeikh
Ibnu Athaillah As-Sakandar)



Aku tahu rizkiku tidak dimakan orang
lain, karenanya hatiku tenang. Aku tahu amalan-amalanku tidak mungkin
dilakukan orang lain, maka aku sibukkan diriku dengan beramal. Aku tahu
Allah selalu melihatku,karenanya aku malu bila Allah mendapatiku
melakukan maksiat. Aku tahu kematian menantiku, maka aku persiapkan
bekal tuk berjumpa dengan Rabb-ku. (Hasan Al-Basri)



Kebenaran
tidak diukur dengan banyaknya orang yang mau melakukannya, namun
kebenaran adalah apa saja yang mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
pemahaman salafus salih. (Anisya LM)



Bahaya kepandaian adalah
berbuat sekehendak hati. Bahaya keberanian adalah melampaui batas.
Bahaya toleransi adalah menyebut-nyebut kebaikannya. Bahaya kecantikan
adalah sombong. Bahaya ucapan adalah dusta. Bahaya ilmu adalah lupa.
Bahaya pemurah adalah berlebih-lebihan (Tengku Abdul Wahab)



Ketahuilah
bahwa kewajiban itu lebih banyak daripada waktu yang terluang, maka
bantulah saudaramu untuk menggunakan waktunya dengan sebaik-baiknya dan
jika engkau punya tugas selesaikanlah segera” (Hasan Al-Banna)

~ DO'A BERBUKA PUASA YANG SHAHIH ~ *[edisi Ramadhan]



Masyhur, tak selamanya jadi jaminan. Begitulah yang terjadi pada “doa
berbuka puasa”. Doa yang selama ini terkenal di masyarakat, belum tentu
shahih derajatnya.





Terkabulnya doa dan ditetapkannya pahala di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dari setiap doa yang kita panjatkan tentunya adalah harapan kita semua. Kali ini, mari kita mengkaji secara ringkas, doa berbuka puasa yang terkenal di tengah masyarakat, kemudian membandingkannya dengan yang shahih. Setelah mengetahui ilmunya nanti, mudah-mudahan kita akan mengamalkannya. Amin.

Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat

Lafazh pertama:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت

”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”

Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”[1]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, dan dinilai dhaif oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud.

Penulis kitab Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan menuturkan, “(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud berkata, ‘Musaddad telah menyebutkan kepada kami, Hasyim telah menyebutkan kepada kami dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya dia menyampaikan, ‘Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.’”[2]

Mua’dz ini tidaklah dianggap sebagai perawi yang tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkan tentangnya di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi’in min Ar-Rawah, sebagaimana al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib (8/224).[2]
Dan seperti kita tahu bersama bahwa Ibnu Hibban dikenal oleh para ulama sebagai orang yang mutasahil, yaitu bermudah-mudahan dalam menshohihkan hadits-ed.

Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if.[3]

Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if.[4]
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.[5]

Lafazh kedua:

اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت

“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).”

Mulla ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan ‘wa bika aamantu‘ adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.”[6]
Artinya do’a dengan lafazh kedua ini pun adalah do’a yang dho’if sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a tersebut.

Berbuka Puasalah dengan Doa-doa Berikut Ini

Do’a pertama:

Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah-ed.”
[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami’: 4/209, no. 4678) [7]

Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, “Abu Hurairah berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan ….‘”

Yang dimaksud dengan إذا أفطر adalah setelah makan atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah “membatalkan” puasanya (berbuka puasa, pen) pada waktunya (waktu berbuka, pen). Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka. Sebelum makan tetap membaca basmalah, ucapan “bismillah” sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)

Adapun ucapan وثبت الأجر maksudnya “telah hilanglah kelelahan dan telah diperolehlah pahala”, ini merupakan bentuk motivasi untuk beribadah. Maka, kelelahan menjadi hilang dan pergi, dan pahala berjumlah banyak telah ditetapkan bagi orang yang telah berpuasa tersebut.

Do’a kedua:

Adapun doa yang lain yang merupakan atsar dari perkataan Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma adalah,

اَللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، أنْ تَغْفِرَ لِيْ

“Allahumma inni as-aluka bi rohmatikal latii wasi’at kulla syain an taghfirolii-ed”
[Ya Allah, aku memohon rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang dengannya engkau mengampuni aku](HR. Ibnu Majah: 1/557, no. 1753; dinilai hasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk kitab al-Adzkar; lihat Syarah al-Adzkar: 4/342) [8]


[1] Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Kitab ash-Shaum, Bab al-Qaul ‘inda al-Ifthar, hadits no. 2358.
[2] Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, hlm. 74-75.
[3] Lihat Irwaul Gholil, 4/38-ed.
[4] Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38-ed.
[5] Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45-ed.
[6] Mirqotul Mafatih, 6/304-ed.
[7] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 176.
[8] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 177.

Referensi:
Irwaul Gholil fii Takhrij Ahadits Manaris Sabil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami, cetakan kedua, 1405 H

Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Mala ‘Ali Al Qori, Asy Syamilah.

Syarah Hisnul Muslim, Majdi bin ‘Abdul Wahhab al-Ahmad, Disempurnakan dan Dita’liq oleh Penulis Hisnul Muslim (Syekh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani).

Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Syekh Muhammad Nashirudin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://s203841464.onlinehome.us/waqfeya/books/22/32/sdsunnd.rar)

Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, Syekh Abdullah Muhammad al-Hamidi, Dar Ibnu Hazm, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://ia311036.us.archive.org/0/items/waq57114/57114.pdf)

Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Tahqiq: Syaikh ‘Abdul Qodir ‘Arfan, Darul Fikr, cetakan pertama, 1424 H (jilid kedua).

Penulis: Ummu Asiyah Athirah

Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslimah.or.id —
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Doa berbuka puasa berdasarkan Hadits Hasan :
================
قال عمر : " كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : " ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله " .

رواه أبو داود ( 2357 ) والدارقطني ( 25 ) ، وقال ابن حجر في " التلخيص الحبير " ( 2 / 202 ) : " قال الدارقطني : إسناده حسن " .

Dari Umar ra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berbuka puasa mengucapkan:

(Dzahaba dzoma’ wab tallatil ‘uruuq wa tsabatal ajru Insya Allah”

Artinya: “Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah dan pahala telah ditetapkan Insya Allah”

HR Abu Dawud (2357) dan Ad-Daruquthni (25), Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya “At-Talkhis Al-Habir” (2/202): (Ad-Daruquthni berkata: sanadnya baik).

Daftar Blog Saya

Banyak hal di Dunia yang takkan sanggup kita fikirkan sendiri, banyak tawa yang tak seru jika dinikmati seorang diri, banyak air mata yang terlalu pedih untuk dialirkan sendiri, untuk itulah kita membutuhkan saudara/teman, membagi setiap kebaikan, mengoreksi tiap kesalahan, Ya Rabb....... Jika sekarang saudara/riku/teman2ku yang sedang tersenyum? Semoga menjadi ibadah, jika bersedih? Semoga kesedihan nya bisa menghidupkan hati dan jiwa. Jika sedang lelah? Semoga kelelahan nya menjadi penggugur dosa dosa. Aamiin ya Allah.
gif

KLIK SITE BUKERAN