http://picasion.com/gl/2jwY/


widgets
http://picasion.com/gl/1Nts/

RENUNGAN MANIS SEAKAN TAK PERLU NAMUN SANGATLAH BERGUNA

Laron berfikir telah hidup panjang karena mampu mengelilingi ruangan. Namun jika cicak melihatnya maka umur laron hanya semalam saja ...
Al Quran secara implisit mengatakan bahwa 1hari akhirat rasanya bagaikan seribu tahun dunia (QS 22:47, 32:5)
Berdasarkan keterangan tadi, artinya 1hari (24jm) akhirat = 1000 thn,

TAK TERKENAL DI BUMI, TERKENAL DI LANGIT

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … Pada zaman Baginda Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, bidang dadanya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, wajahnya selalu melihat pada tempat sujudnya dan tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya.

Pemuda ini tidak pernah lalai dari membaca al-Quran dan senantiasa menangis.

LUPA KEMATIAN

(Indikasi Kedunguan !!!)
Setiap yang menangis…suatu saat ia akan ditangisi…
Setiap yang meratapi …suatu saat ialah yang akan diratapi…
Akan tetapi kapan..? dan dimana…?
Jika setiap kita tahu kapan dan dimana kita akan meninggal maka perkaranya lebih mudah untuk

DAHSYATNYA SURAT AL-IKHLASH





Sempatkanlah sebentar untuk membaca tulisan ini


Rasulullah Muhammad SAW pada suatu ketika bersabda: ”

KEJAMNYA WAKTU SUBUH

Allah bersumpah dalam Al Fajr :“Demi fajar (waktu Subuh)”. Kemudian
dalam Al Falaq Allah mengingatkan:“Katakanlah! aku berlindung kepada
Tuhan yang menguasai waktu subuh”.
Ada apa sebenarnya di balik waktu Subuh?

BERIKUT JUMLAH RAKAAT SALAT SUNNAH&FARDHU




JENIS-JENIS SHALAT:

Shalat Fardhu (Shalat Wajib):




  1. Shalat Subuh: 2 rakaat, sekitar jam 04.15 s/d 06.00.


  2. Shalat Zuhur: 4 rakaat, sekitar jam 12.00 s/d 15.15.


  3. Shalat Ashar: 4 rakaat, sekitar jam 15.15 s/d 18.00.


  4. Shalat Maghrib: 3 rakaat, sekitar jam 18.00 s/d 19.15.


  5. Shalat Isya: 4 rakaat, sekitar jam 19.15 s/d 04.15. 



Shalat Sunnah (Shalat Sunnah):




  1. Shalat Rawatib:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan sebelum dan sesudah
    shalat fardhu. Ada juga yang mengerjakan 4 rakaat dengan dua kali salam:




    • Sebelum shalat Subuh: 2 rakaat.


    • Sebelum dan sesudah shalat Zuhur: 2 rakaat.


    • Sebelum shalat Ashar: 2 rakaat.


    • Sesudah shalat Maghrib: 2 rakaat.


    • Sebelum dan sesudah shalat Isya: 2 rakaat.






  2. Shalat Dhuha:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat atau lebih (bisa 4, 6, 8 rakaat; tiap 2
    rakaat ditutup dengan salam) yang dikerjakan ketika matahari naik
    sepenggal (sekitar jam 08.00 s/d sebelum Zuhur). Pada rakaat pertama
    disunnahkan membaca surat Asy-Syamsu dan pada rakaat kedua surat
    Ad-Dhuha.



  3. Shalat Tahiyyatul Masjid:
    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan sebelum masuk masjid. Shalat ini dilakukan untuk menghormati masjid.



  4. Shalat Tahajjud:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan pada waktu malam hari
    (setelah shalat Isya hingga terbit fajar). Bisa juga dikerjakan 4 rakaat
    atau sebanyak-banyaknya (tidak terbatas; setiap 2 rakaat diakhiri
    dengan salam). Disyaratkan harus tidur terlebih dahulu walaupun
    sebentar. Sebaiknya dilanjutkan dengan shalat sunnah witir 1 rakaat.



  5. Shalat Mutlak:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat (minimal) yang dapat dikerjakan kapan saja (kecuali waktu yang diharamkan).




  6. Shalat Fajar:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan sebelum Shalat subuh.




  7. Shalat Wudhu:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan beberapa saat sesudah
    berwudhu, ketika sisa-sisa air wudhu yang ada di anggota wudhu masih
    kelihatan basah, jadi jangan sampai sudah kering baru melakukan shalat
    sunnah wudhu.




  8. Shalat Tasbih:

    Merupakan shalat sunnah 4 rakaat yang di dalamnya terdapat 300 tasbih.
    Bila dikerjakan siang hari: 4 rakaat dengan 1 salam dan bila dikerjakan
    malam hari: 4 rakaat dengan 2 salam.




  9. Shalat Tobat:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat (bisa 4 dan 6 rakaat) yang dianjurkan
    Rasulullah apabila kita telah melakukan dosa dan lalu bertobat. Waktu
    mengerjakannya bisa kapan saja, tetapi alangkah baiknya dikerjakan pada
    malam hari.




  10. Shalat Hajat:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan karena mempunyai hajat dan memohon agar Allah mengabulkannya.




  11. Shalat Tarawih:

    Merupakan shalat sunnah yang dikerjakan setelah shalat Isya pada bulan
    Ramadhan. Shalat ini bisa dikerjakan sendiri-sendiri, afdhalnya
    berjamaah. Bilangan rakaatnya 20 (tiap 2 rakaat diakhiri dengan salam).
    Sebaiknya dilanjutkan dengan shalat sunnah witir 3 rakaat (2 roka'at
    salam, lalu 1 roka'at salam [infishal]), bila dilaksanakan ittishal 3
    rakaat dengan satu salam maka tanpa tasyahhud awal.




  12. Shalat Witir:

    Merupakan shalat sunnah penutup shalat malam yang dikerjakan di awal
    (jika khawatir tidak bangun pada malam harinya), pertengahan atau di
    akhir malam (jika percaya bisa bangun malam). Bilangan rakaatnya ganjil,
    minimal 1 rakaat dan maksimal 11 rakaat (tanpa tasyahud awal). Lazimnya
    shalat witir ini 1 atau 3 rakaat.




  13. Shalat Istisqa:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang biasanya dilakukan secara
    berjamaah dilapangan untuk meminta hujan, apabila mengalami kekeringan
    (disertai dengan 2 khutbah).




  14. Shalat Hari Raya:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat dipagi hari (dimulai dari terbitnya
    matahari sampai waktu zuhur) secara berjamaah di lapangan maupun di
    masjid yang dikerjakan pada waktu Hari Raya Idul Fitri, tanggal 1 Syawal
    dan Idul Adha, tanggal 10 Dzulhijjah. Pada rakaat pertama disunnahkan
    membaca takbir sebanyak 7 kali dan pada rakaat kedua sebanyak 5 kali.
    Pada tiap-tiap takbir membaca:




    Subhaanallaah,

    wal hamdu lillaah,

    wa laa ilaaha illallaah,

    wallaahu akbar.

    Artinya: Mahasuci Allah dan segala puji bagi Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, Tuhan yang Maha Besar.



  15. Shalat Gerhana:

    Merupakan shalat sunnah 2 rakaat yang dilaksanakan karena ada gerhana,
    baik gerhana matahari atau gerhana bulan. Kalau gerhana matahari disebut
    shalat kusuuf, dan kalau gerhana bulan disebut shalat khusuuf. Waktu
    melaksanakan shalat gerhana matahari, yaitu mulai awal gerhana hingga
    matahari kembali seperti semula, begitu juga dengan gerhana bulan.
    Apabila dilaksanakan berjama'ah maka ada 2 khutbah setelahnya shalat.



KAPAN WAKTU YANG BENAR UNTUK MELAKUKAN SHOLAT DHUHA (SHOLAT AWWABIN) ?


SHALAT DHUHA


ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari





Shalat dhuha dikerjakan pada siang hari. Waktunya yang utama/afdhal disebutkan dalam hadits di bawah ini:

Zaid bin Arqam Radhiyallaahu ‘anhu melihat orang-orang sedang
shalat dhuha, maka ia berkata: Ketahuilah, orang-orang itu sungguh
mengetahui bahwa shalat (dhuha) di selain waktu ini lebih utama.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:


صَلاَةُ الْأَوَّابِيْنَ حِيْنَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ



“Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim no. 1743)

Waktu yang demikian itu, kata Al-Imam Ash-Shan’ani Rahimahullah adalah ketika matahari telah tinggi dan panasnya terasa. (Subulus Salam, 3/50)

Al-Imam An Nawawi Rahimahullah berkata, “Ar-Ramdha’ adalah pasir yang panasnya bertambah sangat karena terbakar matahari. Shalat awwabin adalah saat kaki-kaki anak unta yang masih kecil terbakar karena menapak/menginjak pasir yang sangat panas. Awwab adalah orang yang taat. Ada yang mengatakan awwab adalah orang yang kembali dengan melakukan ketaatan. Dalam hadits ini ada keutamaan shalat di waktu tersebut dan ia merupakan waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat dhuha, walaupun shalat dhuha boleh dikerjakan dari mulai terbitnya matahari sampai tergelincirnya.” (Al-Minhaj, 6/272)

Ucapan beliau Rahimahullah bahwa waktu shalat dhuha yaitu mulai terbitnya matahari sampai zawal tentunya tidak persis saat terbitnya matahari, karena adanya larangan yang datang dalam hadits lain untuk mengerjakan shalat di waktu tersebut seperti hadits berikut ini:

Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَلاَ تَحَرَّوْا بِصَلاَتِكُم طُلُوْعَ الشَّمْسِ وَلاَ غُرُوْبَهَا، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بِقَرْنَيْ شَيْطَانٍ

“Janganlah kalian memilih untuk mengerjakan shalat kalian ketika terbit matahari dan tidak pula ketika tenggelam matahari, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Al-Bukhari no. 582, 3272 dan Muslim no. 1922)

Uqbah bin Amir Radhiyallaahu ‘anhu berkata:

ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ n يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ…

“Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi….” (HR. Muslim no. 1926)

Demikian pula hadits ‘Amr bin ‘Abasah Radhiyallaahu ‘anhu yang menyebutkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepadanya:

صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ….

“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari….” (HR. Muslim no. 1927)

Adapun hadits Abud Darda’ dan Abu Dzar Radhiyallaahu ‘anhuma yang mengabarkan dari RasulullahShallallaahu ‘alaihi wasallam , dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, bahwasanya Dia berfirman:

ابْنَ آدَم، اِرْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Wahai anak Adam, ruku’lah (shalatlah) untuk-Ku empat rakaat dari awal siang niscaya Aku akan mencukupimu pada akhir siangmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 475, ia berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Dishahihkan Al-Imam Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Demikian juga dalam riwayat Ahmad (4/153) dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani Radhiyallaahu ‘anhu disebutkan dengan lafadz:

إِنَّ اللهَ k يَقُوْلُ: يَا ابْنَ آدَمَ، اكْفِنِي أَوَّلَ النَّهَارِ بِأَرْبَعِ رَكَعَاتٍِ، أَكْفِكَ بِهِنَّ آخِرَ يَوْمِكَ

“Sesungguhnya Allah k berfirman: ‘Wahai anak Adam, cukupi Aku pada awal siang dengan empat rakaat niscaya Aku akan mencukupimu dengannya pada akhir harimu’.”

Maka yang dimaksud awal siang dalam dua hadits di atas bukan persis setelah shalat subuh, karena adanya hadits Rasulullah n:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)

Al-Imam Asy-Syaukani Rahimahullah menerangkan, “Ulama berbeda pendapat tentang waktu masuknya shalat dhuha. Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah dalam Ar-Raudhah meriwayatkan dari para pengikut mazhab Asy-Syafi’i bahwa waktu dhuha mulai masuk dengan terbitnya matahari, akan tetapi disenangi mengakhirkannya sampai matahari tinggi. Sebagian dari mereka berpendapat, waktunya mulai masuk saat matahari tinggi. Pendapat ini yang ditetapkan oleh Ar-Rafi’i dan Ibnu Ar-Rif’ah.” (Nailul Authar, 2/329)

Dalam Zadil Mustaqni’ disebutkan, “Waktu dhuha mulai dari selesainya waktu larangan shalat sampai sesaat sebelum zawal.”

Kata pensyarahnya, “Yakni dari naiknya matahari seukuran tombak sampai masuknya waktu larangan shalat dengan matahari berada di tengah langit. Waktunya yang paling utama adalah apabila panas matahari terasa menyengat.” (Ar-Raudhul Murbi’, 1/176)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menyatakan bahwa ukuran satu tombak itu menurut penglihatan mata orang yang melihat dan ukurannya sekitar satu meter 1. Kemudian beliau menyimpulkan bahwa waktu dhuha dimulai dari berakhirnya waktu larangan shalat di awal siang sampai datangnya waktu larangan di tengah siang (tengah hari). Mengerjakannya di akhir waktu lebih utama karena adanya hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang shalat awwabin. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/88)

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam Mengerjakan Shalat Dhuha setelah Siang Meninggi

Dalam peristiwa Fathu Makkah, Ummu Hani x mengabarkan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n أَتَى بَعْدَ مَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ يَوْمَ الْفَتْحِ، فَأُتِيَ بِثَوْبٍ فَسُتِرَ عَلَيْهِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ قَامَ، فَرَكَعَ ثَمَانِي رَكَعَاتٍ…

“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam datang pada hari Fathu Makkah setelah siang meninggi, lalu didatangkan kain untuk menutupi beliau yang hendak mandi. (Seselesainya dari mandi) beliau bangkit untuk mengerjakan shalat sebanyak delapan rakaat….” (HR. Muslim no. 1665)

Keterangan:

1 Al-Imam Al-Albani t ketika ditanya tentang kadar rumh/satu tombak, beliau mengatakan dua meter bila dikiaskan dengan ukuran yang ada pada hari ini. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah, 2/167) ########################################################################################################### Perbedaan Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha Oleh: Badrul Tamam Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Shalat Isyraq, menurut Syaikh Utsaimin adalah shalat yang dikerjakan setelah matahari meninggi satu tombak, sekitar lima belas menit setelah matahari terbit. Disebut demikian karena dikerjakan sesudah terbitnya matahari. Menurut Syaikh Utsaimin, Syaikh Ibnu Bazz, dan lainnya adalah Shalat Isyraq termasuk Shalat Dhuha itu sendiri. Karena Shalat Dhuha dikerjakan sesudah matahari terbit dan meninggi satu tombak, -sekitar 15 sampai 20 menit sesudah terbit- sampai matahari mendekati dipertengahan, -sekitar 10 menit sebelum di pertengahan-. Keutamaannya yang lebih dengan pahala yang besar, ditunjukkan oleh hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ "Siapa yang shalat Shubuh dengan berjamaah, lalu duduk berdzikir kepada Allah sehingga matahari terbit, kemudian shalat dua rakaat, maka ia mendapatkan pahala haji dan umrah sempurna (diulang tiga kali)." (HR. Al-Tirmidzi, dihassankan oleh Al-Albani dalam al-Misykah, no. 971) Keutamaan ini didapatkan karena mampu memanfaatkan waktu istimewa dengan dzikir, tilawah, dan shalat sebagai bentuk syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan diperolehnya keutamaan tersebut apabila ditegakkan syarat-syarat yang disebutkan di dalamnya: Shalat Shubuh berjama'ah, berada di tempat ia shalat (tidak berpindah dari tempat shalatnya), waktunya diisi dengan dzikir (bukan membicarakan urusan duniawi atau menyakiti orang), masih dalam keadaan suci, sampai terbit matahari, dan diakhiri dengan shalat dua rakaat di waktu Dhuha. Kalau syarat-syarat ini ditegakkan, maka shalat tersebut berpahala besar. Namun, jika hanya shalat dua rakaat sesudah masuk waktu dhuha dan tidak diawali dengan syarat-syarat tadi, mengakhirkannya (shalat Dhuha) saat matahari sudah memanas (sekitar jama 10 sampai seperempat jam sebelum matahari dipertengahan) adalah lebih baik. Itulah yang disebut dengan Shalat Awwabin. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam di atas,"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah pergi ke penduduk Qubba' pada saat mereka mengerjakan shalat (Dhuha). Lalu beliau bersabda, صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ مِنْ الضُّحَى "Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasa di waktu Dhuha." (HR. Muslim) Dalam riwayat Imam Ahmad, dari Zaid bin Arqam, أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى مَسْجِدِ قُبَاءَ أَوْ دَخَلَ مَسْجِدَ قُبَاءَ بَعْدَمَا أَشْرَقَتْ الشَّمْسُ فَإِذَا هُمْ يُصَلُّونَ فَقَالَ إِنَّ صَلاةَ الأَوَّابِينَ كَانُوا يُصَلُّونَهَا إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ "Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang ke masjid Qubba' atau masuk ke dalam masjid Qubba' sesudah matahari terbit yang pada saat itu mereka sedang mengerjakan shalat. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya shalatnya awwaabin (orang yang banyak taan kepada Allah) yang mereka mengerjakannya apabila anak onta sudah kepanasan." Dan dari Al-Qasim al-Syaibani, bahwasannya Zaid bin Arqam melihat suatu kaum yang sedang melaksanakan shalat di waktu Dhuha, maka ia berkata: أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ “Tidakkah mereka mengetahui bahwasannya shalat di selain waktu ini lebih utama? Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda: “Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR. Muslim) Maksud رَمِضَتْ الْفِصَالُ (anak onta sudah kepanasan) adalah matahari sudah sangat panas sampai memanaskan tanah dan pasir sehingga panasnya itu dirasakan oleh kaki anak-anak onta. Hal itu tidak terjadi kecuali pada saat matahari sudah meninggi dan mendekati pertengahan siang. Hal itu terjadi beberapa menit menjelang tergelincirnya matahari, sekitar seperempat jam menjelang adzan Dzuhur. Dan pada waktu inilah pelaksanaan shalat Dhuha yang paling utama. (Lihat: Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal: 1/85-86) Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Dan faidah di dalamnya (hadits tersebut): utamanya shalat (Dhuha) pada waktu ini. Para shahabat kami berkata: Ia merupakan waktu shalat dhuha yang paling utama, walaupun boleh dikerjakan sejak terbitnya matahari hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah hari)." (Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi, hadits no. 1237) Syaikh Mubarakfuuri mengatakan, "Dan hadits tersebut memberi faidah untuk mengakhirkan shalat Dhuha sampai menjelang pertengahan siang." (Lihat Bulughul maram dg ta'liqnya Ithaful Kiram: hal. 112) Pengingkaran Zaid bin Arqam dalam haidts Muslim di atas bukan merupakan pengingkaran terhadap keberadaan shalat Dhuha di awal siang. Akan tetapi pengingkaran Zaid bin Arqam ini adalah agar supaya orang-orang melakukannya ketika matahari telah meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar, karena waktu pelaksanaan shalat Dhuha (Shalat Awwabiin) yang paling utama adalah ketika matahari telah memanas. Wallahu Ta'ala a'lam. . . . pengingkaran Zaid bin Arqam ini adalah agar supaya orang-orang melakukannya ketika matahari telah meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar, . . Untuk menguatkan kesimpulan bahwa shalat Isyraq adalah shalat Dhuha itu sendiri, kami terjemahkan beberapa fatwa dari para ulama: Fatwa Syaikh Utsaimin Pertanyaan: Shalat Isyraq, apakah itu shalat Dhuha, itu dikerjakan di rumah atau di masjid? Jawaban: "Shalat Isyraq" adalah shalat yang dikerjakan sesudah matahari meninggi satu tombak. Ukuran jam, sekitar seperempat jam (15 menit) setelah terbit matahari. Inilah yang disebut shalat Isyraq, ia itu Shalat Dhuha juga. Karena shalat Dhuha itu sejak matahari meninggi satu tombak sampai menjelang zawal. Shalat Dhuha dikerjakan di akhir waktunya itu lebih utama daripada di awalnya. Ringkasnya, dua rakaat Dhuha adalah dua rakaat Isyraq, tapi dua rakaat itu dikerjakan di awal waktu, yakni setelah matahari naik satu tombak, maka itu disebut Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha. Dan jika diakhirkan sampai akhir waktu, maka disebut Shalat Dhuha, bukan Shalat Isyraq. (Majmu' Fatawa wa Rasail, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin: Jilid ke 14, Bab: Shalat Thathawwu'. . . dua rakaat Dhuha adalah dua rakaat Isyraq, tapi dua rakaat itu dikerjakan di awal waktu, yakni setelah matahari naik satu tombak, maka itu disebut Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha. Dan jika diakhirkan sampai akhir waktu, maka disebut Shalat Dhuha, bukan Shalat Isyraq. . . Fatwa Syaikh Ibnu Bazz Pertanyaan: Apakah Shalat Isyraq adalah Shalat Dhuha, dan berapa jumlah rakaat shalat Dhuha yang paling utama? Jawaban: Ya, Shalat Isyraq adalah shalat Dhuha. Waktu dimulainya adalah shalat Isyraq dan waktu akhirnya menjelang matahari dipertengahan, (shalat) di antara terbitnya matahari yang meninggi satu tombak sampai waktu ini, semuanya disebut Shalat Dhuha. Yang paling utama, shalat Dhuha dikerjakan saat anak onta kepanasan, yakni saat matahari sudah menyengat, inilah yang paling utama. Apabila mengerjakannya di awal waktu, saat matahari meninggi satu tombak di masjid atau di rumah, keduanya adalah baik. Dan jika menambahnya dengan shalat empat rakaat, enam rakaat, delapan rakaat, atau lebih, maka semuanya adalah baik. (Sumber: www.binbaz.org.sa) . . . (shalat) di antara terbitnya matahari yang meninggi satu tombak sampai waktu ini, semuanya disebut Shalat Dhuha. . . Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah al-Rajihi Pertanyaan: Apakah mengerjakan shalat Isyraq sudah mencukupi shalat Dhuha? Jawaban: Shalat Isyraq itu adalah Shalat Dhuha. Penafsirannya dengan isyraq adalah dikerjakan setelah terbitnya matahari. (Waktu) Shalat Dhuha dimulai sejak naiknya matahari setinggi satu tombak, sekitar 15 atau 20 menit setelah terbit matahari sampai menjelang Dzuhur. Semua ini waktu shalat Dhuha. Tetapi paling utamanya, saat anak onta sudah kepanasan (panas matahari sudah menyengat), itulah shalat awwabin sebagaimana yang diterangkan dalam hadits lain, صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ “Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR. Muslim, Ahmad, dan al-Darimi) Tarmidhu, maknanya: (anak onta) berdiri karena kepanasan. Ini terjadi kira-kira pukul 10 dan sekitarnya. Inilah yang paling utama. Saat terasa panasnya siang, maka inilah (waktunya_red) yang paling utama. Ringkasnya, shalat Dhuha dimulai sejak naiknya matahari setinggi satu tombak sampai menjelang Dzuhur. Jika ia duduk di masjid sampai matahari terbit dan meninggi lalu shalat dua rakaat, maka ini adalah shalat Dhuha, itulah shalat Isyraq. Sebagian orang menamakannya shalat Isyraq, ia itu adalah shalat Dhuha, ia adalah shalat dhuha. Ya!. (Sumber: islamway.com). Kesimpulan Shalat Isyraq adalah bagian dari shalat Dhuha. Jika dikerjakan sesudah matahari terbit, atau di awal waktu Dhuha, disebut shalat Isyraq. Jika dikerjakan di akhir waktunya, disebut shalat Dhuha, itulah waktu pelaksanaan Shalat Dhuha terbaik, dan disebut sebagai Shalat Awwabin (shalatnya orang-orang yang banyak kembali kepada Allah, banyak taubat, banyak menjalankan ketaatan. Wallaahu Ta'ala A'lam

HUJAN... KESEMPATAN EMAS UNTUK BERDOA

Sebagian orang tatkala memperhatikan hujan, ada yang sampai gelisah. Apalagi jika turunnya hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, mungkin ada meeting, janji atau yang lainnya. Sehingga yang terjadi adalah mengeluh dan mengeluh. Padahal jika kita merenung dan memahami hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, waktu hujan turun adalah saat mustajabnya do’a, artinya do’a semakin mudah terkabulkan.

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

Daftar Blog Saya

Banyak hal di Dunia yang takkan sanggup kita fikirkan sendiri, banyak tawa yang tak seru jika dinikmati seorang diri, banyak air mata yang terlalu pedih untuk dialirkan sendiri, untuk itulah kita membutuhkan saudara/teman, membagi setiap kebaikan, mengoreksi tiap kesalahan, Ya Rabb....... Jika sekarang saudara/riku/teman2ku yang sedang tersenyum? Semoga menjadi ibadah, jika bersedih? Semoga kesedihan nya bisa menghidupkan hati dan jiwa. Jika sedang lelah? Semoga kelelahan nya menjadi penggugur dosa dosa. Aamiin ya Allah.
gif

KLIK SITE BUKERAN