Rasulullah SAW bersabda : “ ALLAH MEMILIKI 99 NAMA YANG BARANGSIAPA MENGHAFALNYA, BERDOA DENGANNYA , DAN MENGAMALKAN MAKSUDNYA, IA PASTI AKAN MASUK SURGA. SESUNGGUHNYA ALLAH ITU GANJIL DAN MENYUKAI HAL YANG GANJIL (HR Bukhari dan Muslim , dari Abu Hurairah ) ; 1. YA A ALLAAHU ANTA RABBUNA LAA ILAAHA ILLA ANTA : Ya Allah , engkau Tuhan Kami, Tiada Tuhan Yang berhak disembah/ dipertuhan kecuali Engkau 2. YAARAHMAANU NARJUU RAHMATAKA ; Ya Tuhan Yang Maha Pemurah lagi pengasih, kami mengharap Murah-Mu dan Kasih Sayang- MU 3. YAA RAHIMU IRHAMNAA; YA Tuhan Yang Maha Penyayang , kasih sayangilah kami / rahimilah kami. 4. YAA MAALIKU MULKI A’THIINAA MIN MULKIKA Ya Tuhan Yang Maha Raja ( mempunyai kekuasaan), berikanlah kepada kami dari kekuasaan-MU 5. YAA QUDDUUSU QADDIS FITRATANA Ya Tuhan Yang Maha suci sucikanlah fitrah kejadian kami 6. YAA SALAAMU SALLIMNAA MIN AAFAATID DUN-YAA WA’ADZAABIL AAKHIRAH Ya Tuhan pemberi selamat , selamatkanlah kami dari fitnah / bencana dunia dan siksa diakhirat 7. YAA MU’MINU AAMINNAA WA AAMIN AHLANAA WABALADANAA Ya Tuhan Yang memberi keamanan, berikanlah kami keamanan, amankan keluarga kami dan amankan negeri kami 8. YAA MUHAIMINU HAIMIN ‘AURAATINAA WA AJSAADANAA Ya Tuhan Yang Maha melindungi , lindungilah cacat dan jasad kami 9. YAA ‘AZIIZU ‘AZZIZNAA BIL’ILMI WALKARAAMAH Ya Tuhan Yang Maha Mulia , muliakanlah kami dengan ilmu pengetahuan dan kemuliaan / karamah 10. YAA JABBAARU HAB LANAA MIN JABARUUTIKA Ya Tuhan Yang Maha Perkasa , berikanlah kepada kami dari keperkasaan-MU 11. YAA MUTAKABBIRU BI FADHLIKA IJ’ALNAA KUBARAA Ya Tuhan Yang Maha megah/ Besar , Dengan anugrah-MU , jadikanlah kami orang yang Megah/ Berjiwa besar. 12. YAA KHAALIQU HASSIN KHALQANAA WAHASSIN KHULUQANAA Ya Tuhan Yang Maha Mencipta / menjadikan, baguskanlah kejadian kami dan baguskanlah akhlak kami 13. YAA BAARI’U ABRI’NAA MINASY SYIRKI WALMARADHI WALFITNATI Yaa Tuhan Yang Maha Membebaskan , bebaskan kami dari syirik , penyakit dan fitnah 14. YAA MUSHAWWIRU SHAWWIRNAA ILAA AHSANIL KHALQI WALHAALI Ya Tuhan Yang Maha Membentuk , bentuklah kami menjadi sebaik-baik makhluk dan sebaik-baik keadaan. 15. YAA GHAFFAARU IGHFIR LANAA DZUNUUBANAA Ya Tuhan Yang Maha Pengampun , ampunilah dosa- dosa kami. 16. YAA QAHHAARU IQHAR ‘ADUWWANAA ILAL ISTISLAAMI Ya Tuhan Yang Maha Memaksa , paksalah musuh kami untuk tunduk dan menyerah. 17. YAA WAHHAABU HAB LANAA DZURRIYATAN THAYYIBAH. Ya Tuhan Yang Maha Memberi , berikanlah kepada kami anak keturunan yang baik-baik 18. YAA RAZAAQU URZUQNAA HALAALAN THAYYIBAN WAASI’AA Ya Allah Yang Maha Memberi rezeki , berikan kami rezeki yang halal, bergizi, dan banyak/ luas. 19. YAA FATTAHU IFTAH LANAA ABWAABAL KHAAIRI Ya Tuhan Yang Maha Membuka, bukakanlah buat kami semua pintu kebaikan. 20. YAA ‘ALIIMU A’LIMNAA MAA LAA NA’LAM Ya Tuhan Yang Maha Mengetahui , beritahukan kepada kami apa yang kami tidak mengetahuinya. 21. YAA QAABIDHU IDZAA JAA- A AJALUNAA FAQBIDH RUUHANAA FII HUSNIL KHATIMAH Ya Tuhan Yang Maha Mencabut , jika telah sampai ajal kami , cabutlah roh kami dalam keadaan husnul khatimah 22. YAA BAASITHU UBSUTH YADAAKA ‘ALAINA A BIL ‘ ATHIYYAH Ya Tuhan Yang Maha Meluaskan , luaskanlah kekuasaan-Mu kepada kami dengan penuh pemberian 23. YAA KHAAFIDHU IHKFIDH MAN ZHALAMANAA Ya TUHAN Yang Maha Menjatuhkan, jatuhkanlah orang yang menzalimi kami 24. YAA RAAFI’U IRFA’ DARAJAATINAA Ya Tuhan Yang Maha Mengangkat , angkatlah derjat kami 25. YAA MU’IZZU AATINAA ‘IZZATAKA Ya Tuhan Yang Maha Memberi keliaan, limpahkanlah kemuliaan-Mu kepada kami 26. YAA MUDZILLU DZALLIL MAN ADZALLANAA Ya Tuhan Yang Maha Menghinakan , hinakanlah orang yang menghina kami. 27. YAA SAMII’U ISMA’ SYAKWATANAA Ya Tuhan Yang Maha mendengar , dengrkanlah pengaduan kami. 28. YAA BASHIIRU ABSHIR HASANAATINAA Ya Tuhan Yang Maha Melihat, lihatlah semua amal kebaikan kami/ terimalah ibadah kami 29. YAA HAKAMU UHKUN MAN HASADA ‘ALAINAA WA GHASYSYAANAA Ya Tuhan Yang Maha menetapkan hukum, hukumlah orang-orang yang dengki dan curang kepada kami 30. YAA ‘ADLU I’DIL MAN RAHIMANAA Ya Tuhan Yang Maha Menetapkan keadilan , berikanlah keadilan kepada orang yang sayang pada kami 31. YAA KHABIIRU IHYIINA HAYAATAL KHUBARA’ Ya Tuhan Yang Maha waspada/ meneliti, jadikanlah hidup kami seperti kehidupan orang- orang yang selalu waspada (ahli peneliti) 32. YAA HALIIMU BILHILMI ZAYYINNA Ya Tuhan Yang Maha Penyantun , hiasilah hidup kami dengan sikap penyantun 33. YAA LATHIIFU ULTHUF BINAA Ya Tuhan Yang Maha halus, bersikaplah halus kepada kami ( berilah kami hati yang halus) Wallahu a’lam bishawwab ( ¯`v´¯) `•.¸.•´`•.¸.¸¸.•* KH. Mawardi Labay El- Sulthani “ Zikir dan Doa Dengan Al-Asma Al- Husna”•.¸¸❤`•.¸.¸¸. •*❤BC*#JS
(¯`v´¯) `•.¸.•´`•.¸.¸¸.•*¨¨*•.¸¸❤`•.¸.¸¸.•*❤*♥* Doa Untuk Sahabat :::♥♥~*♥**♥*~♥♥
Ya Allah Ya Tuhan-ku, Dari Lubuk Hati yang paling dalam hamba memohon.... Sayangilah saudara –saudari dan sahabat-sahabatku, Jadikanlah kehidupannya berlimpah Rahmat, Nikmat dan Ridha- MU, Isilah hari- harinya yang tersisa untuk selalu tunduk pada-MU, Ya Syafii yang Maha menyembuhkan, Sembuhkanlah hati-hati yang terluka dengan kesembuhan dan kebahagiaan dari-MU,.... Balutlah hati- hati yang kesepian dalam dekapan Cinta Kasih MU.... Limpahkanlah Kehangatan dan Sentuhan Kasih-MU untuk hati-hati yang gersang, hati yang kosong , hati yang bingung dan kehilangan tujuan hidup. ... Ya Allah jangan Engkau biarkan hati-hati yang kebingungan tenggelam dalam kebingungannya, Jangan biarkan hati yang berduka tenggelam dalam dukanya... Jangan Biarkan hati yang kecewa tenggelam dalam kekecewaanya... Jangan Engau Biarkan hati yang putus asa tenggelam dalam keputusasaannya.... Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui Ya Rabbi, bahwa di lubuk hati yang terdalam Hanya EngkauLah harapan mereka...Maka berikanlah harapan Itu Ya Rabbi... Ulurkanlah tangan- tangan Kasih MU pada mereka... Pada orang-orang yang berharap pada-MU Ya Allah Ya Tuhan-ku , Lapangkanlah Kehidupan orang-orang yang kesempitan dengan rezeki yang berkah, agar semakin dalam Syukur- nya pada-MU,.. . Berikanlah ampunan yang tiada batas untuk orang- orang yang Ingin kembali kejalan –MU, orang-orang yang khilaf dan orang-orang yang pernah berbuat kesalahan.... Ya Allah , Ya Rabbi Muliakan lah dan angkatlah kehormatannya orang-orang yang terhina dan dihina ( manusia ), tapi dia adalah orang yang baik dalam pandangan MU Ya Allah Ya Tuhanku Kabulkanlah doa orang-orang yang memohon pertolongan- MU.. Ya Allah berikanlah kesembuhan pada saudara- saudaraku yang sakit.... Ya Allah, hilangkan dari dirinya penyakit, kembalikan dia kepada kesehatan dan ke- sembuhan. Bantulah dia dengan sebaik-baik perlindungan, dan kembalikan dia kepada sebaik-baik kesembuhan. Jadikanlah apa saja yang dirasakannya pada waktu sakitnya sebagai pahala untuk kehidupannya dan penghapus atas segala kesalahan-nya. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. .. Ya Allah Ya Tuhanku, walaupun hamba bukan seorang yang baik dan suci, walaupun hamba tidak sempurna, walaupun hamba begitu jauh dari hamba- hamba mulia Pilihan-MU , namun kabulkanlah doa ini untuk saudara/saudari dan sahabat- sahabatku semuanya....Kabulkanlah Ya Rabbi.... Ulurkanlah Tangan – MU ...Ulurkanlah kehangatan dan pertolongan- MU ..... Aamain...Aamiin Ya Allah aamiin Ya Rabbal alamiin.... Allahumma Shalli ala Muhammad Wa ala ali Muhammad... Ya Nabi salam alaika Ya Rasul salam alaika Ya Habib salam alaika Shalawatulla Alaika.... Semoga Allah Melimpahkan Cinta Kasih Yang Tiada Batas Untukmu Sahabat.... Salam ukhuwah .... (¯`*•.¸ (¯`*•.¸( ¯`*•.¸_..BC .._¸.•* ´¯)..¤JS..¸.•*´¯)..•*´¯)
MELINDUNGI TAUKHID DAN MENUTUP JALAN KEMUSYRIKAN
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah memperingatkan umatnya dan berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menjauhkan umatnya dari jalan yang menuju kepada kemusyrikan, serta menutup setiap jalan yang menjurus kepadanya. Simak uraian ulama dibawah ini: Al Quran Firman Allah Subhanahu wata’ala : لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم “ Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sediri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) untukmu, amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang mu’min .” (QS. At Taubah, 128). Al Hadits Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “لا تجعلوا بيوتكم قبورا، ولا تجعلوا قبري عيدا، وصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني حيث كنتم” رواه أبو داود بإسناد حسن ورواته ثقات. “ Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, ucapkanlah sholawat untukku, karena sesungguhnya ucapan sholawat kalian akan sampai kepadaku dimana saja kalian berada ” (HR. Abu Daud dengan sanad yang baik, dan para perowinya tsiqoh). Dalam hadits yang lain, Ali bin Al Husain Radhiallahu’anhu menuturkan, bahwa ia melihat seseorang masuk kedalam celah-celah yang ada pada kuburan Rasulullah, kemudian berdo’a, maka ia pun melarangnya seraya berkata kepadanya : “ Maukah kamu aku beritahu sebuah hadits yang aku dengar dari bapakku dari kakekku dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda: “لا تتخذوا قبري عيدا، ولا بيوتكم قبورا، وصلوا علي فإن تسليمكم يبلغني حيث كنتم” “ Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, dan janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan ucapkanlah doa salam untukku, karena doa salam kalian akan sampai kepadaku dari mana saja kalian berada ” (diriwayatkan dalam kitab Al Mukhtarah). Penjelasan bab ini : 1. Penjelasan tentang ayat yang terdapat dalam surat Al Baro’ah 1). 2. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah memperingatkan umatnya dan berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menjauhkan umatnya dari jalan yang menuju kepada kemusyrikan, serta menutup setiap jalan yang menjurus kepadanya. 3. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sangat menginginkan keimanan dan keselamatan kita, dan amat belas kasihan lagi penyayang kepada kita. 4. Larangan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam untuk tidak menziarahi kuburannya dengan cara tertentu, [yaitu dengan menjadikannya sebagai tempat perayaan], padahal menziarahi kuburan beliau termasuk amalan yang amat baik. 5. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melarang seseorang banyak melakukan ziarah kubur. 6. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menganjurkan untuk melakukan sholat sunnah di dalam rumah. 7. Satu hal yang sudah menjadi ketetapan dikalangan kaum salaf, bahwa menyampaikan sholawat untuk Nabi tidak perlu masuk di dalam kuburannya. 8. Alasannya karena sholawat dan salam seseorang untuk beliau akan sampai kepada Beliau dimanapun ia berada, maka tidak perlu harus mendekat, sebagaimana yang diduga oleh sebagian orang. 9. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam di alam barzakh, akan ditampakkan seluruh amalan umatnya yang berupa sholawat dan salam untuknya. 1) Ayat ini, dengan sifat-sifat yang disebutkan didalamnya untuk pribadi Nabi Muhammad, menunjukkah bahwa beliau telah memperingatkan umatnya agar menjauhi syirik, yang merupakan dosa paling besar, karena inilah tujuan utama diutusnya Rasulullah. Dikutip dari: file chm kitab tauhid penulis Syaikh Muhammad
CERITA CERITA KHAYALAN DALAM KOMEK UNTUK ANAK ANAK
Cerita fiksi, dengan niat sebaik apapun termasuk “ berdakwah ”, tetaplah kedustaan . Sehingga tak sepantasnya anak-anak kita dijejali oleh beragam cerita rekaan yang hanya akan memperkuat fantasi khayalnya. Terlebih cerita-cerita tersebut, baik yang berbentuk cerpen, komik, ataupun novel, mengandung hal-hal yang bisa merusak akidah mereka. Kalau kita berkunjung ke perpustakaan atau toko buku, deretan buku cerita untuk anak-anak sangat mudah kita jumpai. Dari cerita legenda sampai yang bertema agama. Mulai cerita daerah sampai cerita yang diadopsi dari negeri asing. Memang, anak-anak sebagaimana orang dewasa– sangat menyukai cerita. Cerita memang bisa menjadi media yang sangat efektif untuk menyampaikan dan menanamkan berbagai nilai, baik positif maupun negatif, pada diri anak. Namun sayang, sebagian besar cerita yang disuguhkan kepada anak-anak adalah cerita fiksi. Dengan kata lain, menyuguhkan kedustaan dan khayalan. Ironisnya, cerita-cerita seperti inilah yang justru digemari oleh anak-anak, termasuk anak-anak kaum muslimin . Karakter-karakter khayal dan asing dengan alur cerita yang mengasyikkan membuat mereka menjadi pengkhayal; ingin menjadi seorang “ jagoan ” yang perkasa atau seorang “ putri ” yang lembut dan jelita. Isi cerita pun turut mendukung kerusakan yang ada. Cerita yang seram dan menakutkan membuat anak menjadi ciut nyali dan kehilangan keberaniannya. Bahkan banyak cerita yang nyaris meruntuhkan tauhid. Cerita tentang “ kantong ajaib ” sampai “ peri yang baik ” bisa membuat anak percaya, segala yang mereka inginkan bisa tercapai bukan melalui kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ ala. Wal ‘iyadzu billah! Kalaupun ada cerita bertema agama baik yang tercantum di rubrik-rubrik kisah majalah anak ataupun yang terbukukan, seringkali yang ada adalah cerita rekaan, atau kisah-kisah yang benar namun dibumbui dengan berbagai tambahan dan pengurangan. Semuanya berujung pada kedustaan. Tidak dipungkiri, cerita dapat menimbulkan pengaruh bagi yang mendengar atau membacanya. Oleh karena itulah di dalam Al-Qur`an kita dapati berbagai kisah yang bermanfaat , tentang para nabi ataupun umat-umat terdahulu. Begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menuturkan kisah-kisah dengan bahasa yang begitu fasih, penyampaian yang begitu jelas dan gamblang. Namun bedanya, kisah-kisah dalam Al-Qur`an maupun yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berisi tentang kenyataan yang benar-benar terjadi dan jauh dari sekadar dusta dan khayalan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي اْلأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ “ Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Al- Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi sebagai pembenar kitab-kitab yang sebelumnya dan penjelas segala sesuatu, dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman .” (Yusuf: 111) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula tentang Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى “ Tidaklah dia berkata dari hawa nafsunya. Yang dikatakannya itu tidak lain wahyu yang diwahyukan. ” (An-Najm: 3-4) Maka dari itu, mestinya kita benar-benar memerhatikan ketika hendak memilihkan bacaan, menuliskan cerita atau menuturkan kisah kepada anak-anak. Tak boleh ada unsur kedustaan sepanjang cerita itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya: إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ “ Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta .” (An-Nahl: 105) Dusta, biarpun dalam rangka berkisah yang sifatnya menghibur anak-anak, tetaplah dilarang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan hal itu dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ القَوْمَ فَيَكْذِبُ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ “ Binasalah orang yang berbicara untuk membuat orang-orang tertawa dengan ucapannya, lalu dia berdusta. Binasalah dia, binasalah dia !” (HR. At- Tirmidzi no. 2315 , dihasankan oleh Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At- Tirmidzi) Oleh karena itu, kita perlu waspada dan ekstra hati-hati agar tidak terjerumus dalam perbuatan seperti ini. Apalagi jika kita terbiasa membuat- buat dongeng atau cerita rekaan, hingga tanpa terasa kita jadi terbiasa berdusta. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan bahwa orang yang terbiasa berdusta akan dicatat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai seorang pendusta. Na’udzu billah! Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إلَى الْجَنَّةِ ومَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَلاَ يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا “ Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan , dan kebaikan akan membimbing ke surga, dan seseorang senantiasa jujur dan membiasakan untuk jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta akan membimbing pada kejahatan, dan kejahatan akan membimbing ke neraka, dan seorang hamba senantiasa berdusta dan membiasakan untuk dusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta .” (HR. Al- Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607) Dusta juga termasuk perangai orang munafik . Demikian dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘ anhu: آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ “ Tanda orang munafik itu ada tiga: bila bicara dia dusta, bila berjanji dia mengingkari, dan bila diberi amanah dia mengkhianati .” (HR. Al- Bukhari no. 33 dan Muslim no. 107) Lebih dari itu, dusta merupakan dosa besar yang diancam dengan azab di neraka, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa suatu pagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ وَإِنَّهُمَا ابْتَعَثَانِي وَإِنَّهُمَا قَالاَ لِي: انْطَلِقْ. وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا…- الْحَدِيثَ- وَفِيهِ: وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ وَمِنْخَرَهُ إِلَى قَفَاهُ وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو مِنْ بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكِذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ “ Semalam aku didatangi oleh dua orang malaikat, lalu mereka berdua mengajakku pergi. Mereka berkata padaku, ‘Mari kita pergi!’ Aku pun pergi bersama mereka berdua….” (sampai beliau mengatakan), “Adapun orang yang kaulihat sedang merobek/memotong mulutnya hingga ke tengkuknya, hidungnya hingga ke tengkuknya, kedua matanya hingga ke tengkuknya adalah orang yang suka berangkat di pagi hari dari rumahnya, lalu dia membuat kedustaan, sampai kedustaan itu mencapai seluruh penjuru .” (HR. Al-Bukhari no. 7047) Orang seperti ini berhak mendapatkan azab, karena berbagai kerusakan yang timbul dari kedustaan yang dibuatnya. Sementara, dia melakukan dusta itu dengan keinginannya, bukan karena dipaksa atau karena terdesak. (Fathul Bari, 12 /557) Ancaman apa lagi yang lebih mengerikan daripada azab seperti ini? Kalau memang kita ingin memberikan kisah-kisah untuk memberikan pelajaran kepada anak dan menanamkan akhlak yang baik, kita bisa mengambil cerita-cerita yang ada di dalam Al- Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam yang shahih . Atau melalui kisah hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum, dari kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama, yang di dalamnya sarat dengan keteladanan dan pelajaran serta dituturkan sebagaimana jalan cerita yang ada, tanpa pengurangan dan penambahan, sekalipun kita menuturkannya dengan bahasa anak-anak. Yang banyak pula ditemukan sekarang ini, kisah- kisah para tokoh Islam, baik dari kalangan para rasul, sahabat, dan yang lainnya, dalam bentuk cerita bergambar. Nabi Adam ‘alaihissalam maupun nabi-nabi yang lain digambarkan sedemikian rupa dalam ilustrasi buku cerita maupun karakter film kartun. Begitu pula tokoh- tokoh yang lainnya. Yang seperti ini dilarang, karena jelas-jelas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita membuat gambar-gambar makhluk bernyawa ataupun menyimpannya di dalam rumah. Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan: سَمِعْتُ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيْهَا الرُّوْحَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ “ Aku pernah mendengar Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang membuat sebuah gambar (makhluk hidup) di dunia, ia akan dibebani untuk meniupkan ruh kepada gambar tersebut pada hari kiamat, padahal ia tidak bisa meniupkannya’ .” (HR. Al-Bukhari no. 5963 dan Muslim no. 5507) Jabir radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الصُّوْرَةِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memasukkan gambar (makhluk hidup) ke dalam rumah dan melarang untuk membuat yang seperti itu .” (HR. At-Tirmidzi no. 1749, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيُقَالُ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ. وَقَالَ: إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيْهِ الصُّوَرُ لاَ تَدْخُلُهُ الْمَلاَئِكَةُ “ Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ( makhluk bernyawa) seperti ini akan diazab pada hari kiamat dan dikatakan pada mereka, ‘ Hidupkan apa yang kalian ciptakan ini!’.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “ Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa) tidak akan dimasuki oleh malaikat .” (HR. Al-Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 2107) Di samping itu, perbuatan semacam ini mengandung pelecehan terhadap para nabi dan para tokoh yang digambarkan. Demikian difatwakan oleh para ulama, sebagaimana termaktub dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta` yang diketuai oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz : “ Dilarang menggambar para sahabat atau salah seorang di antara mereka, karena hal itu mengandung peremehan dan pelecehan terhadap mereka, serta mengakibatkan penghinaan terhadap para sahabat. Walaupun diyakini di sana ada maslahat, namun mafsadah yang ditimbulkan jauh lebih besar. Sementara segala sesuatu yang mafsadahnya lebih besar itu terlarang. Keputusan tentang larangan atas hal ini telah ditetapkan dalam Majlis Hai`ah Kibaril ‘Ulama. (Fatawa Al- Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`, 1 /712 no. 2044) Bagaimana kiranya dengan menggambar para nabi yang lebih mulia daripada para sahabat? Tentu lebih jelas lagi pelarangannya. Sudah semestinya kita bersikap bijak untuk memilah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang menyelamatkan dan mana yang membahayakan, baik untuk anak-anak maupun diri kita. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. Dikutip dari http://www.asysyariah.com Penulis : Al- Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran , judul : Cerita dalam Dunia Anak
JUJURLAH JANGAN DUSTA
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: “ Kedustaan itu tidak pantas digunakan untuk suatu keseriusan, dan tidak pula dalam senda gurauan. Jika engkau mau…, bacalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ “ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kalian bersama orang- orang yang jujur .” (At-Taubah: 119) Kemudian beliau katakan: “ Apakah dalam ayat ini engkau dapati adanya satu keringanan bagi seorang pun (untuk berdusta,)?” Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “ Jujurlah engkau dan pegang erat-erat kejujuran itu. Niscaya engkau akan menjadi orang yang jujur dan selamat dari hal-hal yang membinasakanmu. Dan niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan untukmu kelapangan berikut jalan keluar bagi (segala) urusanmu .” Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “ Jika engkau ingin dikelompokkan dalam golongan orang-orang yang jujur, maka wajib bagimu untuk zuhud2 dalam dunia ini dan menahan diri dari ( menyakiti) manusia .” Maraji’: Tafsir Ibnu Katsir (2/525-526) Dikutip dari http://www.asysyariah.com Penulis : Al- Ustadz Zainul Arifin , judul : Jujurlah Tambahan: 1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ “ Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta .” (An-Nahl: 105) 2. Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ القَوْمَ فَيَكْذِبُ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ “ Binasalah orang yang berbicara untuk membuat orang-orang tertawa dengan ucapannya, lalu dia berdusta. Binasalah dia, binasalah dia !” (HR. At- Tirmidzi no. 2315)
HUKUM AIR LAUT DAN BANGKAI BINATANG LAUT
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullahu Ta’ala Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata : “ Seorang datang pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lantas berkata, “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sering mengarungi lautan dan membawa sedikit air, kalau kami berwudhu dengannya maka kami akan kehausan, a pakah kami boleh berwudhu dengan air laut ? ”. Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ Ia (air laut) thahur suci mensucikan airnya, lagi halal bangkainya .”[lihat Ash-Shahihah no. 480]. Dalam hadits ini terdapat faedah penting, yaitu: Halalnya semua yang mati di lautan dari binatang yang memang hidup di sana sekalipun dia telah terapung di atas air . Dan alangkah bagusnya apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa dia ditanya lalu dia menjawab : “Sesungguhnya Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Sesungguhnya airnya laut itu suci mensucikan dan bangkainya halal . ” (Hadits Riwayat Ad- Daraquthni no. 538)
HUKUM SYUKURAN MENEMPATI RUMAH BARU
Apakah hukumnya melakukan syukuran ketika akan pindah rumah dan hal-hal apa yg perlu dilakukan ketika akan pindah rumah menurut tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi Wasallam ? (Ibnu Sarbini – abdullahxxx@yahoo.com) Jawab : Syaikh Al-Fauzan ditanya mengenai masalah ini, maka beliau menjawab, “ Tidak mengapa mengadakan pesta (undangan makan) ketika pindah ke rumah baru, dengan mengundang teman-teman dan karib kerabat, jika dia mengerjakannya semata-mata untuk mengungkapkan kesenangan dan kegembiraannya. Adapun jika acara itu disertai dengan keyakinan bahwa acara itu bisa mencegah kejelekan jin, maka mengerjakan amalan ini tidak boleh, karena itu adalah kesyirikan dan keyakinan yang rusak. Adapun jika dikerjakan karena adat, maka tidak masalah .”[Dinukil dari Al-Muntaqa jilid 5 no. 444 ] Dan Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya dengan teks soal sebagai berikut: Telah membudaya di tengah-tengah manusia, bahwa siapa saja yang pindah ke rumah baru atau membeli rumah baru atau dia mendapat pekerjaan atau dia naik jabatan atau yang semisalnya, maka dia mengadakan semacam acara makan-makan . Apa hukum amalan ini? Beliau menjawab, “ Ini termasuk dari pesta-pesta yang mubah, maka boleh bagi seseorang untuk mengadakan acara ketika dia pindah ke rumah baru atau ketika dia lulus -misalnya-. Yang jelas, jika pestanya diadakan karena adanya moment tertentu, maka tidak ada masalah. ” [Dinukil dari Fatawa Muhimmah li Muwazhzhifil Ummah] Wallahu A’lam Sumber : http://amakassari.com/?p=76 , Oleh : Ustadz Hammad Abu Mu’awiyah, Judul: Hukum Syukuran Menempati Rumah Baru
HUKUM MENINGGALKAN SHALAT KARENA KETIDURAN ATAU LUPA
BERSENDA GURAU DENGAN MENYEBUT NAMA ALLAH. ALQUR'AN. JUGA RASULULLAH
Sering kita dalam keseharian mendengar orang ataupun rekan kita bercanda dengan menyebut nama Allah, nama Rasulullah atau dengan ayat ayat Al Quran, terutama sekali di televisi berupa lawakan ataupun sinetron seperti “A stagfirullah ,” “ laa ilaha illallah “, “ Allahu Akbar “, yang semua hanyalah candaan semata, ataupun ijab Kabul palsu dan sebagainya. Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menyikapi orang seperti ini simak Al Qur’an dan hadits dibawah ini. : Firman Allah Subhanahu wata’ala : ولئن سألتهم ليقولن إنما كنا نخوض ونلعب قل أبالله وأياته ورسوله كنتم تستهزؤون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم “ Dan jika kamu tanyakan kepada orang-orang munafik (tentang apa yang mereka lakukan) tentulah mereka akan menjawab : “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”, katakanlah : “Apakah dengan Allah, ayat- ayatNya dan RasulNya kalian selalu berolok-olok ? ”, tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman … ” (QS. At Taubah, 65 – 66). Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Kaab, Zaid bin Aslam, dan Qatadah, suatu hadits dengan rangkuman sebagai berikut : “Bahwasanya ketika dalam peperangan tabuk, ada seseorang yang berkata : “ Belum pernah kami melihat seperti para ahli membaca Alqur’an (qurra’) ini, orang yang lebih buncit perutnya, dan lebih dusta mulutnya, dan lebih pengecut dalam peperangan”, maksudnya adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabat yang ahli membaca Al Qur’an. Maka berkatalah Auf bin Malik kepadanya: “kau pendusta, kau munafik, aku beritahukan hal ini kepada Rasulullah”, lalu berangkatlah Auf bin Malik kepada Rasulullah untuk memberitahukan hal ini kepada beliau, akan tetapi sebelum ia sampai, telah turun wahyu kepada beliau . Dan ketika orang itu datang kepada Rasulullah, beliau sudah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya, maka berkatalah ia kepada Rasulullah : “ Ya Rasulullah, sebenarnya kami hanya bersenda gurau dan mengobrol sebagaimana obrolan orang yang mengadakan perjalanan untuk menghilangkan penatnya perjalanan”, kata Ibnu Umar : “sepertinya aku melihat orang tadi berpegangan sabuk pelana unta Rasulullah, sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu, sambil berkata : “ kami hanyalah bersenda gurau dan bermain main saja ”, kemudian Rasulullah bersabda kepadanya : أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤون “ Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya, dan RasulNya kamu selalu berolok olok ”. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengatakan seperti itu tanpa menengok , dan tidak bersabda kepadanya lebih dari pada itu. Penjelasan bab ini : 1. Masalah yang sangat penting sekali, bahwa dalam ayat diatas menyebutkan orang yang bersenda gurau dengan menyebut nama Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya adalah kafir. 2. Ada perbedaan yang sangat jelas antara menghasut dan setia Allah dan RasulNya. (dan melaporkan perbuatan orang-orang fasik kepada waliyul amr untuk mencegah mereka, tidaklah termasuk perbuatan menghasut tetapi termasuk kesetiaan kepada Allah dan kaum muslimin seluruhnya). 3. Ada perbedaan yang cukup jelas antara sikap memaafkan yang dicintai Allah dengan bersikap tegas terhadap musuh-musuh Allah. 4. Tidak setiap permintaan maaf dapat diterima. ( ada juga permintaan maaf yang harus ditolak). Dikutip dari: file chm kitab tauhid penulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi, Judul Asli : Kitabut-Tauhid, Bab 48 Bersenda Gurau Dengan Menyebut Nama Allah, Alqur’an Atau Rasulullah
PENENTUAN NASIB DENGAN BURUNG(TATHOYYUR)
Sering dijumpai bila seseorang melihat atau mendengar suara burung seperti burung hantu atau burung yang lainnya, maka orang itu mengatakan “ Akan ada orang yang celaka atau meninggal di daerah sini ”. Mereka menjadikan burung itu sebagai penentu nasib pembawa sial ( petaka). Ramalan atau kepercayaan itu merupakan suatu kesyirikan kepada Allah Subhanahu wata’ ala, mari simak ulasan ulama berikut ini berdasarkan Alquran dan hadits. Al Qur’an 1. Firman Allah Subhanahu wata’ala : ألا إنما طائرهم عند الله ولكن أكثرهم لا يعلمون “ Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi mereka tidak mengetahui ” (QS. Al A’raf, 131). 2. Allah Subhanahu wata’ala berfirman : قالوا طائرهم معكم أئن ذكرتم بل أنتم قوم مسرفون “ Mereka (para Rasul) berkata : “kesialan kalian itu adalah karena kalian sendiri, apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib sial)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas .” (QS. Yasin, 19). Al Hadits 1. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’ anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “لا عدو ولا طيرة ولا هامة ولا صفر ” أخرجاه, وزاد مسلم ” ولا نوء ولا غول”. “ Tidak ada ‘penularan penyakit (Adwa), tidak ada burung penentu nasib baik dan buruk (Thiyarah), tidak ada burung hantu pembawa sial (Hamah), tidak ada bulan shafar pembawa sial atau keberuntungan (Shofar)” (HR. Bukhori dan Muslim), dan dalam riwayat Imam Muslim terdapat tambahan : “ dan tidak ada bintang penentu hujan (Nau)’, serta tidak ada hantu ( ghaul) .” 1). 2. Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan pula dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda : “لا عدو ولا طيرة ويعجبني الفأل”، قالوا : وما الفأل ؟ قال : ” الكلمة الطيبة”. “ Tidak ada ‘Adwa dan tidak ada Thiyarah, tetapi Fa’l menyenangkan diriku”, para sahabat bertanya : “apakah Fa’l itu ?” beliau menjawab : “yaitu kalimah thoyyibah (kata kata yang baik)”. 3. Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang shoheh, dari Uqbah bin Amir, ia berkata : “ Thiyarah disebut-sebut dihadapan Rasulullah, maka beliaupun bersabda : “أحسنها الفأل، ولا ترد مسلما، فإذا رأى أحدكم ما يكره فليقل : اللهم لا يأتي بالحسنات إلا أنت، ولا يدفع السيئات إلا أنت، ولا حول ولا قوة إلى بك”. “ Yang paling baik adalah Fa’l, dan Thiyarah tersebut tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari niatnya, apabila salah seorang di antara kamu melihat sesuatu yang tidak diinginkannya, maka hendaknya ia berdo’a : “Ya Allah, tiada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tiada yang dapat menolak kejahatan kecuali Engkau, dan tidak ada daya serta kekuatan kecuali atas pertolonganMu ”. 4. Abu Daud meriwayatkan hadits yang marfu’ dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “الطيرة شرك، الطيرة شرك، وما منا إلا …، ولكن الله يذهبه بالتوكل ” رواه أبو داود والترمذي وصححه وجعل آخره من قول ابن مسعود. “ Thiyarah itu perbuatan syirik, thiyarah itu perbuatan syirik, tidak ada seorangpun dari antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah Subhanahu wata’ala bisa menghilangkannya dengan tawakkal kepadaNya ”.(HR.Abu Daud). Hadits ini diriwayatkan juga oleh At Tirmidzi dan dinyatakan shoheh, dan kalimat terakhir ia jadikan sebagai ucapannya Ibnu Mas’ud) 5. Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “من ردته الطيرة عن حاجته فقد أشرك “، قالوا : فما كفارة ذلك ؟ قال : أن تقول : اللهم لا خير إلا خيرك، ولا طير إلا طيرك، ولا إله إلا غيرك”. “ Barang siapa yang mengurungkan hajatnya karena thiyarah ini, maka ia telah berbuat kemusyrikan”, para sahabat bertanya : “lalu apa yang bisa menebusnya ?”, Rasulullah Shallallahu’ alaihi wasallam menjawab :” hendaknya ia berdoa : “Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dariMu, dan tiada kesialan kecuali kesialan dariMu, dan tiada sesembahan kecuali Engkau ”. 6. Dan dalam riwayat yang lain dari Fadl bin Abbas, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “إنما الطيرة ما أمضاك أو ردك” “ Sesugguhnya Thiyarah itu adalah yang bisa menjadikan kamu terus melangkah, atau yang bisa mengurungkan niat (dari tujuan kamu) ”. Penjelasan bab ini : 1. Peringatan atas firman Allah “ Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi mereka tidak mengetahui ” dan “kesialan kalian itu adalah karena kalian sendiri” 2. Menghapus adanya kepercayaan adanya penularan penyakit 3. Menghapus penentuan nasib dengan burung dan yang lainnya 4. Menghapus kepercayaan terhadap burung hantu (suara burung hantu) yang dianggap pembawa sial 5. Menghapuskan adanya kesialan dalam bulan shafar 6. Al Fa’l tidak termasuk yang dilarang oleh Rasulullah, bahkan dianjurkan. Penjelasan tentang makna Al Fa’l. Apabila terjadi tathoyyur dalam hati seseorang, tetapi dia tidak menginginkannya, maka hal itu tidak apa-apa baginya, bahkan Allah Subhanahu wata’ala akan menghilangkannya dengan tawakkal kepadaNya. 7. Penjelasan tentang doa yang dibacanya, saat seseorang menjumpai hal tersebut. 8. Ditegaskan bahwa thiyarah itu termasuk syirik. Penjelasan tentang thiyarah yang tercela dan terlarang . 1) Adwa : Penjangkitan atau penularan penyakit . Maksud sabda Nabi di sini ialah untuk menolak anggapan mereka ketika masih hidup di zaman jahiliyah, bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir Allah. Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah, bukan keberadaan penjangkitan atau penularan, sebab dalam riwayat lain, setelah hadits ini, disebutkan : (وفروا من المجذوم كما تفروا من الأسد) “… dan menjauhlah dari orang yang terkena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa .” (HR. Bukhori). Ini menunjukkan bahwa penjangkitan atau penularan penyakit dengan sendirinya tidak ada, tetapi semuanya atas kehendak dan takdir Ilahi, namun sebagai insan muslim di samping iman kepada takdir tersebut haruslah berusaha melakukan tindakan preventif sebelum terjadi penularan sebagaimana usahanya menjauh dari terkaman singa. Inilah hakekat iman kepada takdir Ilahi. Thiyarah : merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja. Hamah : Burung hantu . Orang-orang jahiliyah merasa bernasib sial dengan melihatnya, apabila ada burung hantu hinggap di atas rumah salah seorang diantara mereka, dia merasa bahwa burung ini membawa berita kematian tentang dirinya sendiri, atau salah satu anggota keluarganya. Dan maksud beliau adalah untuk menolak anggapan yang tidak benar ini. Bagi seorang muslim, anggapan seperti ini harus tidak ada, semua adalah dari Allah dan sudah ditentukan olehNya. Shafar : Bulan kedua dalam tahun hijriyah, yaitu bulan sesudah Muharram . Orang-orang jahiliyah beranggapan bahwa bulan ini membawa nasib sial atau tidak menguntungkan. Yang demikian dinyatakan tidak ada oleh Rasulullah. Dan termasuk dalam anggapan seperti ini : merasa bahwa hari rabu mendatangkan sial, dan lain lain. Hal ini termasuk jenis thiyarah, dilarang dalam Iselam. Nau’ : bintang, arti asalnya adalah : tenggelam atau terbitnya suatu bintang. Orang-orang jahiliyah menisbatkan turunnya hujan kepada bintang ini, atau bintang itu. Maka Islam datang mengikis anggapan seperti ini, bahwa tidak ada hujan turun karena suatu bintang tertentu, tetapi semua itu adalah ketentuan dari Allah. Ghaul : Hantu (gendruwo), salah satu makhluk jenis jin . Mereka beranggapan bahwa hantu ini dengan perubahan bentuk maupun warnanya dapat menyesatkan seseorang dan mencelakakannya. Sedang maksud sabda Nabi di sini bukanlah tidak mengakui keberadaan makhluk seperti ini, tetapi menolak anggapan mereka yang tidak baik tersebut yang akibatnya takut kepada selain Allah, serta tidak bertawakkal kepadaNya, inilah yang ditolak oleh beliau, untuk itu dalam hadits lain beliau bersabda : “ Apabila hantu beraksi manakut-nakuti kamu, maka serukanlah adzan.” Artinya : tolaklah kejahatannya itu dengan berdzikir dan menyebut Allah . Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad. Dikutip dari: file chm kitab tauhid penulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi, Judul Asli : Kitabut-Tauhid, Bab 28 : Penentuan Nasib Dengan Burung (Tathoyyur).
WANITA ITU DI CIPTAKAN DARI TULANG RUSUK
MEMAKAI PAKAIAN HITAM DALAM RANGKA BERKABUNG
TATA CARA WUDU' DAN DO'A SETELAHNYA
Amalan apakah yang dianjurkan ketika berwudhu’, dan apakah doa yang mesti diucapkan setelahnya? Jawab : Alhamdulillah, tatacara wudhu’ menurut syariat adalah sebagai berikut: - Menuangkan air dari bejana (gayung) untuk mencuci telapak tangan sebanyak tiga kali ; - Kemudian menyiduk air dengan tangan kanan lalu berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya sebanyak tiga kali ; - Kemudian membasuh wajah sebanyak tiga kali ; - Kemudian mencuci kedua tangan sampai siku sebanyak tiga kali ; - Kemudian mengusap kepala dan kedua telinga sekali usap ; - Kemudian mencuci kaki sampai mata kaki sebanyak tiga kali. Ia boleh membasuhnya sebanyak dua kali atau mencukupkan sekali basuhan saja. Setelah itu hendaknya ia berdoa: “ Asyhadu allaa ilaaha illallah wahdahu laa syarikalahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘ abduhu wa rasuluhu, Allahummaj ‘alni minat tawwabiin waj’alni minal mutathahhiriin .” Artinya: “ Saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak disembah dengan benar selain Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Yaa Allah jadikanlah hamba termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri .“ Adapun sebelumnya hendaklah ia mengucapkan ‘ bismillah ’ berdasarkan hadits yang berbunyi: “ Tidak sempurna wudhu’ yang tidak dimulai dengan membaca asma Allah (bismillah) .” (H.R At- Tirmidzi 56) Dinukil dari http://najiyah1400 h.wordpress.com dari Fatawa Lajnah Daimah juz V/231. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa
HUKUM DAGING DI JUAL DI PASAR
Bagaimana dengan daging yang dijual di pasar, yang kita tidak tahu proses penyembelihannya dengan mengucapkan tasmiyah (basmalah) atau tidak? Karena ada orang yang menyembelih tanpa mengucapkan apapun. Bahkan ada ayam yang sudah mati (bangkai) kemudian juga dijual sebagai ayam potong di pasar. (Hadi Prasetyo, via email) Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari: Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi washahbihi waman walah. Tasmiyah yaitu ucapan ‘ Bismillah ’ pada proses penyembelihan ketika hendak menggerakkan pisau di leher binatang yang disembelih. Hukumnya wajib , bahkan merupakan syarat sahnya penyembelihan. Apabila seseorang sengaja tidak membaca tasmiyah saat penyembelihan padahal dia telah mengetahui hukumnya, maka dia berdosa dan binatangnya menjadi bangkai yang najis dan haram. Apabila seseorang tidak membacanya karena lupa atau kejahilan/ ketidaktahuan tentang hukum tersebut, maka dia tidak berdosa . Namun penyembelihan yang dilakukannya tidak sah sehingga binatangnya menjadi bangkai yang najis dan haram dikonsumsi. Dia tidak berdosa berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As- Sunnah bahwa seseorang yang meninggalkan kewajiban karena jahil (tidak tahu hukum) atau karena lupa , dia mendapatkan udzur yang dengannya dia tidak berdosa . Di antara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala: رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا “ Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja .” (Al-Baqarah: 286) Adapun penyembelihan yang dilakukannya dianggap tidak sah karena membaca tasmiyah merupakan syarat sahnya penyembelihan, berdasarkan: 1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ “ Maka makanlah binatang-binatang sembelihan yang dibacakan nama Allah atasnya (saat menyembelihnya) .” (Al-An’am: 118 ) 2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ “ Dan janganlah kalian memakan binatang- binatang sembelihan yang tidak dibacakan nama Allah atasnya, karena sesungguhnya hal itu adalah kefasikan. ” (Al-An’am: 121) 3. Hadits Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوا مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفْرًا، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ “ Alat apa saja yang mengalirkan darah (binatang sembelihan) dan dibacakan nama Allah atasnya maka makanlah (sembelihan itu), selama alat itu bukan gigi atau kuku. Adapun gigi, karena gigi adalah tulang. Sedangkan kuku adalah pisau orang Habasyah .” (HR. Al-Bukhari no. 5509 dan Muslim no. 1968 ) Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa binatang yang halal untuk dimakan adalah yang disembelih dengan membaca tasmiyah atasnya, dan bahwa binatang yang disembelih tanpa membaca tasmiyah atasnya adalah haram untuk dimakan, dan memakannya adalah kefasikan, tanpa membedakan apakah tidak membaca tasmiyah dengan sengaja atau tidak sengaja. Ini adalah salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (35/239-240), Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (7/481, 484-485) , dan guru kami Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ijabatus Sa’il (hal 668 ).1 Berdasarkan hal ini, jika seseorang mengetahui bahwa binatang itu adalah bangkai atau disembelih tanpa membaca tasmiyah atasnya, maka tidak boleh baginya untuk memakan daging tersebut . Adapun ketidaktahuan kita akan proses penyembelihan yang dilakukan oleh saudara kita sesama muslim, apakah dia membaca tasmiyah atau tidak, apakah daging itu sembelihan atau bangkai, tidak menghalangi kita untuk membeli dan memakannya . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (35/240): “ Namun jika seseorang mendapatkan daging hasil sembelihan orang lain, boleh baginya untuk memakannya dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya, dengan dasar membawa (menganggap) amalan kaum muslimin kepada amalan yang sah dan selamat dari kesalahan yang membatalkannya. Sebagaimana telah tsabit (tetap) dalam Ash-Shahih2 : أَنَّ قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ نَاسًا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ وَلَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَذْكُرُوا؟ فَقَالَ: سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ “ Bahwasanya suatu kaum berkata (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam): ‘Wahai Rasul Allah, sesungguhnya orang-orang yang baru masuk Islam datang dengan membawa daging ( untuk kami) sedangkan kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atasnya atau tidak?’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘ Bacalah oleh kalian nama Allah atasnya, kemudian makanlah’ .”3 Beliau juga rahimahullahu berkata (35 /240) : “ Akan tetapi jika seseorang tidak mengetahui apakah yang menyembelih menyebut nama Allah atasnya atau tidak, maka boleh baginya untuk memakan daging sembelihan itu. Jika dia yakin ( mengetahui) bahwa tidak dibacakan nama Allah atasnya, maka janganlah dia memakannya .” Semakna dengan ini penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘ Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (7/481-482) setelah menyebutkan hadits ‘ Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas: “ Hal ini karena seseorang dituntut untuk membenarkan amalan yang dilakukannya. Bukan dituntut untuk mengurusi sah tidaknya amalan orang lain. Karena suatu amalan bila dikerjakan oleh ahlinya maka hukum asalnya adalah bahwa amalan itu sah dan selamat dari kesalahan yang membatalkannya. Jadi, kita mengatakan: ‘ Janganlah kalian memakan binatang yang tidak dibacakan nama Allah atasnya’, dan jika kita memakan daging yang tidak dibacakan nama Allah atas penyembelihannya dalam keadaan lupa atau tidak tahu akan hal itu, maka kita tidak berdosa , karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا “ Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja .” (Al-Baqarah: 286) Namun jika kita mengetahui bahwa sembelihan ini tidak dibacakan nama Allah atasnya, maka tidak boleh bagi kita untuk memakannya.” Begitu pula fatwa Al-’Allamah Muqbil Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il (hal 668 ) setelah menyebutkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha “ Kita mengatakan bahwa maksud hadits ini adalah jika seorang muslim menyembelih binatang dan menghadiahkan dagingnya kepadamu, sedangkan engkau tidak tahu apakah dia membaca tasmiyah atas penyembelihannya atau tidak, maka hukum asal pada diri seorang muslim adalah membaca tasmiyah. Namun jika engkau yakin bahwa dia tidak membaca tasmiyah, maka yang zhahir ( nampak) -dalam permasalahan ini- engkau tidak boleh memakannya. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi ganti yang lebih baik, wallahul musta’an”. Demikian pula fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa Al-Lajnah (22 /367) setelah menyebutkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas: “ Hadits ini menunjukkan bahwa jika seorang muslim menyembelih binatang maka amalannya dibawa kepada penyembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama Allah, meskipun masuk Islamnya belum lama, dalam rangka berbaik sangka kepadanya. Maka halal bagi seseorang untuk makan daging sembelihannya dan jangan membebani diri untuk menyelidiki proses penyembelihannya, apakah dia menyebut nama Allah atau tidak. Yang disyariatkan baginya hanyalah semata-mata menyebut nama Allah ketika hendak memakannya, dalam rangka melaksanakan syariat yang dibebankan ketika hendak makan. Tanpa mencari tahu tentang penyebutan nama Allah atasnya saat penyembelihan .” Tersisa satu permasalahan terkait dengan hal ini. Yaitu apabila tersebar informasi bahwa sebagian daging yang dijual di pasar adalah bangkai atau daging yang proses penyembelihannya tidak syar’i dan tidak ada kejelasan/kepastian tentang kebenaran informasi itu sehingga tidak meyakinkan. Namun bagi sebagian orang, informasi itu kuat sehingga menjadi syubhat dan menimbulkan prasangka kuat pada diri mereka bahwa hal itu benar. Maka wajib atas mereka untuk bertanya dan meminta informasi yang jelas dan tepercaya ketika hendak membeli daging agar mendapatkan daging yang benar-benar diyakini halal. Hal ini dalam rangka mengamalkan hadits: دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ “ Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu .” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Al-Hakim dan yang lainnya, dari Al- Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` (1 /44) dan Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1 /222). Yang serupa dengan ini adalah fatwa Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu ketika ditanya tentang suatu negeri yang dikenal mengimpor daging- daging sembelihan dari Eropa4 , yang diduga kuat bahwa proses penyembelihannya tidak syar’i, sedangkan daging-daging itu dijual di pasar bercampur dengan daging-daging sembelihan lokal yang syar’i, tanpa bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lain. Apakah wajib atas seorang muslim untuk menanyakan sumber pengambilan daging yang hendak dibelinya kepada pihak yang tepercaya? Beliau rahimahullahu menjawab: “ Selama ada prasangka kuat –sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan– bahwa daging-daging itu tidak disembelih dengan proses penyembelihan yang syar’i, maka wajib atasnya untuk bertanya. Demikian pula, dibangun atasnya hukum tidak memenuhi undangan makan apabila diundang untuk menghadiri jamuan yang menyajikan daging seperti ini. Bahkan tidak boleh menghadirinya. Bertanya yang tidak disyariatkan sehingga tidak disukai –sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian atsar– adalah yang dipicu oleh rasa was-was5. Adapun bertanya yang didasari oleh prasangka kuat bahwa daging itu bukan sembelihan yang halal menurut syariat, karena bukan sembelihan kaum muslimin, maka tidak termasuk was-was . Melainkan termasuk dalam bab pengamalan hadits: دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ “ Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu .” Lihat Al-Hawi min Fatawa Al-Albani (hal. 370-371) . Al-Lajnah Ad-Da`imah juga dimintai fatwa tentang daging-daging sembelihan yang diimpor oleh negara Arab Saudi dari negara-negara kafir dari jenis Ahli Kitab, karena tersebar isu bahwa proses penyembelihannya tidak syar’i. Al-Lajnah Ad-Da`imah menjelaskan bahwa hukum asal sembelihan kaum muslimin dan ahli kitab ( Yahudi dan Nashara) adalah halal, kecuali jika ada alasan yang tsabit (tetap) yang menggesernya dari hukum asal menjadi haram. Sedangkan informasi yang tersiar mengenai status daging-daging sembelihan itu masih tetap saja simpang siur tanpa ada kejelasan yang meyakinkan. Sehingga pihak Kementerian Perdagangan Kerajaan Arab Saudi masih tetap mengingkari dengan keras isu yang tersiar bahwa daging-daging itu adalah hasil penyembelihan yang tidak syar’i. Kemudian Al-Lajnah Da’imah berkata: “ Berdasarkan hal ini, isu yang tersiar itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengubah hukum makanan-makanan impor tersebut dari hukum asalnya, yaitu halal menjadi haram. Adapun daging-daging yang diimpor dari negara-negara komunis dan semacamnya dari kalangan bangsa- bangsa kafir selain kaum muslimin dan ahli kitab, maka hukumnya adalah haram. Karena sembelihan-sembelihan mereka statusnya bangkai. Meskipun demikian, barangsiapa meragukan kehalalan makanan-makanan impor tersebut hendaklah dia meninggalkannya (tidak mengonsumsinya) dalam rangka berhati-hati dan mengamalkan hadits: دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ “ Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu .” Lihat Fatawa Al-Lajnah (22 / 400-402). Wallahu a’ lam. 1 Pendapat yang lain mengatakan apabila lupa membaca tasmiyah maka sembelihannya sah dan halal untuk dimakan . 2 Yaitu Shahih Al-Bukhari no. 2057 dan 5507. 3 Yaitu membaca ‘Bismillah’ -pen. 4 Mayoritas mereka adalah kaum kafir dari kalangan ahli kitab. Apabila proses penyembelihan yang mereka lakukan sesuai dengan syarat-syarat syar’i penyembelihan, maka sembelihan mereka halal berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ ala: وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ “ Dan sembelihan orang-orang yang diberi kitab (Ahli Kitab) halal bagi kalian .” (Al-Ma`idah: 5) Hukum asal sembelihan mereka adalah halal seperti halnya sembelihan kaum muslimin. Kecuali jika diketahui bahwa sembelihan mereka tidak memenuhi syarat-syarat syar’i penyembelihan, maka sembelihan itu berstatus bangkai yang haram dikonsumsi. Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22 /397) dan Asy-Syarhul Mumti’ (7/488-490) –pen Sumber :http://asysyariah.com, Penulis : Redaksi Asy- Syariah, Judul: Hukum Daging yang Dijual di Pasar
RAMALAN BINTANG DALAM SEBUAH MAJALAH ATAU KORAN
MENCERAIKAN ISTRI ATAS PERINTAH ORANG TUA
Apabila seorang ayah atau seorang ibu memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya dikarenakan satu sebab, apakah si anak wajib menaati orangtuanya dengan menceraikan istrinya ? Jawab: Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu menjawab dengan membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Sunan-nya (juz 4 hal. 368) lengkap dengan sanadnya dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ia berkata: كَانَتْ تَحْتِي امْرَأَةٌ أُحِبُّهَا وَكَانَ أَبِي يَكْرَهُهَا، فَأَمَرَنِي أَنْ أُطَلِّقَهَا فَأَبَيْتُ، فَذَكَرْتُ ذلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا عَبْدَ الله، طَلِّقِ امْرَأَتَكَ “ Aku memiliki seorang istri yang kucintai akan tetapi ayahku tidak menyukainya maka ia memerintahkan aku untuk menceraikannya, namun aku menolak. Lalu kuceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menitahkan, ‘ Wahai Abdullah, ceraikanlah istrimu’ .” Kemudian Asy- Syaikh Muqbil mengatakan bahwa hadits ini hasan, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan sanadnya. Asy-Syaikh, “Al-Mubarakfuri rahimahullahu dalam Tuhfatul Ahwadzi (juz 4 hal. 368) menyatakan, ‘ Dalam hadits ini ada dalil yang jelas tentang kewajiban seorang lelaki untuk menceraikan istrinya bila memang diperintahkan oleh ayahnya, walaupun ia mencintai istri tersebut. Ini bukanlah alasan baginya untuk tetap menahan sang istri. Termasuk juga bila ibu yang memerintahkan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa ibu punya hak terhadap anaknya lebih daripada hak ayah sebagaimana disebutkan dalam hadits Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya. Kakeknya ini berkata, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbuat baik?” Beliau menjawab, “ Ibumu.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” “ Ibumu,” jawab beliau. “Kemudian siapa setelah itu?” tanyaku. “Ibumu,” jawab beliau. “Kemudian siapa?” tanyaku lagi. Baru beliau menjawab, “ Ayahmu .” Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Datang seseorang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bertanya, “ Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling pantas untuk aku bergaul dengan baik kepadanya?” Beliau menjawab, “Ibumu.” “ Kemudian siapa?” “Ibumu.” Kemudian setelahnya siapa?” “Ibumu.” Untuk kali berikutnya orang itu kembali bertanya, “Lalu siapa?” “Ayahmu, ” jawab beliau. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata, “Apa yang ditetapkan oleh Al- Mubarakfuri rahimahullahu tentang wajibnya seseorang menceraikan istrinya bila kedua orangtuanya atau salah satunya memerintahkannya, menyelisihi pendapat jumhur. Karena jumhur memandang perintah yang disebutkan dalam hadits yang datang dalam masalah ini adalah menunjukkan disenangi (mandub) sebagaimana dalam Dalilul Falihin (juz 2 hal. 176). Namun yang benar dalam hal ini adalah mengamalkan zahir hadits1 karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan perintah untuk bersyukur kepada kedua orangtua dengan bersyukur kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ “ Bersyukurlah engkau kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu .” ( Luqman: 14) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menggandengkan perintah berbuat baik kepada kedua orangtua dengan perintah beribadah kepada-Nya. Dia Yang Maha Suci berfirman: وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “ Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan kepada kedua orangtua berbuat baiklah .” ( An-Nisa`: 36) Namun dalam hal ini, wajib bagi seseorang untuk melihat pada sebab. Apa yang melatarbelakangi orangtua memerintahkannya untuk menceraikan istrinya? Bila memang si istri menyelisihi perintah- perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau tidak berbuat baik kepada kedua orangtua suaminya, atau kedua orangtua membenci istri anaknya dengan kebencian yang sifatnya tabiat, semua itu (bisa) menjadi alasan untuk menceraikan si istri dengan perintah salah satu atau kedua orangtua. Bila si istri tersebut adalah wanita yang shalihah, sementara ayah mertuanya yang meminta putranya untuk menceraikan istrinya tersebut seorang yang rusak; misalnya si wanita tidak suka alat- alat musik sementara ayah mertuanya senang dengan alat-alat musik; atau si wanita tidak suka ikhtilath ( campur baur tanpa hijab/tabir penghalang) dengan laki- laki yang bukan mahramnya sementara ayah mertuanya mengharuskan menantunya ini untuk ikhtilath dan ia tidak suka bila menantunya ini tidak pergi keluar rumah guna bekerja dan berbaur dengan kaum lelaki; dia adalah wanita yang shalihah namun ia tidak punya ijazah, sementara ayah mertuanya menginginkan anaknya menikah dengan wanita yang punya ijazah agar bisa digunakan mencari pekerjaan; Bila seperti ini keadaannya, si anak tidak boleh menaati ayahnya untuk menceraikan istrinya. Yang jelas, hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘ anhuma di atas dikaitkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ali radhiyallahu ‘ anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ “ Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf ( kebaikan) .” 2 Wallahu ta’ala a’lam.” (Ijabatus Sa`il ‘Ala Ahammil Masa`il, hal. 232-233) 1 Sementara zahir hadits Ibnu ‘Umar di atas menunjukkan wajib, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ibnu ‘Umar untuk melakukan apa yang diinginkan ayahnya yaitu menceraikan istrinya. 2 Faedah: Pernah seseorang bertanya kepada Al- Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu, “ Ayahku berkata, “Ceraikan istrimu!”, padahal aku mencintai istriku tersebut, apakah aku harus menaati ayahku? ” Al-Imam Ahmad rahimahullahu menjawab, “ Jangan engkau ceraikan istrimu !” Lelaki itu berkata lagi, “Bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Ibnu ‘ Umar untuk menceraikan istrinya tatkala sang ayah, ‘Umar ibnul Khaththab, telah memerintahkannya untuk menceraikan istrinya?” Al- Imam Ahmad balik bertanya, “Apakah ayahmu itu ‘Umar ?” Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, “ Karena kita yakini dengan ilmu yang yakin bahwa ‘Umar tidak mungkin memerintahkan putranya Abdullah untuk menceraikan istrinya melainkan karena sebab yang syar’i, sementara Abdullah mungkin tidak mengetahuinya. Dan mustahil ‘ Umar menyuruh anaknya menceraikan istrinya guna memisahkan antara keduanya tanpa ada sebab syar’i. ” ( Syarhu Riyadhis Shalihin, 2 /144) Dikutip dari http://www. asysyariah.com Penulis : Redaksi Sakinah, judul Menceraikan Istri Atas Perintah Orang Tua.
MENGIKUTI KEYAKINAN ORANG (MAYORITAS) DALAM BERAGAMA
Banyak kita jumpai seruan untuk mengikuti kebanyakan orang (mayoritas) dalam hal beragama, ia berbendapat bahwa mengikuti mayoritaslah merupakan kebenaran dalam beragama. Telah dijelaskan dalam Alquran bahwa mengikuti kebanyakan orang bukanlah merupakan tolak ukur suatu kebenaran, Saudaraku yang dirahmati Allah, tahukah engkau bahwa, Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman : 1. Kebanyakan manusia menyesatkan : وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ “ Seandainya kalian mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, sungguh mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah (Qs:al An’aam:116) 2. Kebanyakan manusia tidak bersyukur: إِنَّ اللّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُونَ “..akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur ” (Qs Al Baqoroh:243) 3. Kebanyakan manusia tidak mengetahui kebenaran: وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ “…akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui ” (Qs.Al A’raf:187) 4. Kebanyakan manusia lalai mengingat Allah: وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ “.. dan sesungguhnya kebanyakan manusia itu lengah terhadap tanda tanda kekuasan Kami ” (Qs. Yunus:92) 5. Kebanyakan manusia itu fasik: وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ “..dan sesungguhnya kebanyakan manusia itu benar benar fasiq ” (Qs.Al Maa’idah:49) 6. Kebanyakan manusia mengingkari Al Quran: وَلَقَدْ صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِي هَـذَا الْقُرْآنِ مِن كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَى أَكْثَرُ النَّاسِ إِلاَّ كُفُوراً “ dan sesungguhnya Kami telah mengulang ulang kepada manusia didalam Al-Quran ini setiap macam perumpamaan, tetapi kebanyakan manusia tidak menyukai selain mengingkari ”. (Qs.Al Isra’: 89) 7. Kebanyakan manusia mengingkari berjumpa dengan Allah: وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ بِلِقَاء رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ “ Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia benar benar ingkar akan pertemuan dengan rabb-nya . (Qs.Ar Ruum:8) 8. Kebanyakan manusia tidak beriman: وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يُؤْمِنُونَ “ ..akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman ”. (Qs.Hud:17) Saudaraku yang dirahmati oleh Allah, tahukah engkau, bahwa: 1. Sedikit sekali manusia yang bersyukur: وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ “ Sedikit sekali dari hamba-Ku yang bersyukur .” ( Qs.Saba’:13) 2. Sedikit sekali manusia yang beriman: وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيلاً مَا تُؤْمِنُونَ “ ..Sedikit sekali kalian beriman kepadanya . (Qs.Al Haaqqah:41) 3. Sedikit sekali manusia menginggat Allah: مَّعَ اللَّهِ قَلِيلاً مَّا “ Sangatlah sedikit kalian-Nya .” (Qs.An Naml:62) 4. Sedikit sekali manusia yang mau mengambil pelajaran. مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ “..Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran ” (Qs. Al A’raf:3) Saudaraku, alangkah banyaknya manausia yang tidak mengenal dan mengetahui kebenaran, yang lalai mengingat allah, yang tidak pandai bersyukur yang mengingkari Al-Quran, yang mengingkari perjumpaan dengan Rabb-nya dan yang tidak beriman. Serta alangka sedikitnya manusia yang bersyukur, yang mau mengambil pelajaran, yang senantiasa mengingat Allah dan yang beriman kepada Al- Quran. ……..mantera apa yang menyihir kita untuk berlomba lomba menjadi yang terbanyak, berkorban demi yang banyak dan mengikuti yang terbanyak ???. Allah subhanahu wata’ala telah mengingatkan kepada hamba hamba-Nya “ وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ “Seandainya kalian mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, sungguh mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah “(Qs:al An’aam:116) Disalin dan diringkas dari bulletin Publikasi Ahlusunnah Jakarta, Pembina: Al Ustadz Ja’far Shalih, Edisi 70/1429 dengan judul Mantera apa yang telah menyihir kita, dengan sedikit perubahan tanpa mengurangi makna.
NASEHAT BAGI WANITA YANG TERLAMBAT MENIKAH
Pertanyaan: Saya ingin meminta saran kepada syaikh bahwa saya dan teman – teman senasib telah ditakdirkan untuk tidak merasakan nikmat nikah, sementara umur hampir menginjak masa putus harapan untuk menikah. Padahal Alhamdulillah saya dan teman – teman senasib memiliki akhlak yang cukup dan berpendidikan sarjana dan inilah nasib kita, Alhamdulillah. Yang membuat kaum lelaki tidak mau melamar kita disebabkan kondisi ekonomi yang kurang mendukung karena pernikahan di daerah kami dibiayai oleh kedua mempelai. Saya memohon nasehat syaikh untuk kami ? Jawaban: Nasehat saya untuk yang terlambat menikah hendaknya selalu berdo’a kepada Allah dengan penuh harapan dan keikhlasan, dan mempersiapkan diri untuk siap menerima lelaki yang shalih. Apabila seseorang jujur dan sungguh- sungguh dalam do’anya, disertai dengan adab do’a dan meninggalkan semua penghalang do’a, maka do’a tersebut akan terkabulkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. “ (Al-Baqarah : 186). Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ( yang artinya): “Dan Tuhanmu berfirman: Berdo’alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu” (Al-Mukmin : 60). Dalam ayat tersebut Allah menggantungkan terkabulnya do’a hamba-Nya setelah dia memenuhi panggilan dan perintah-Nya. Saya melihat, tidak ada sesuatu yang baik kecuali berdo’a dan memohon kepada Allah serta menunggu pertolongan dari-Nya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda ( yang artinya): “Ketahuilah sesungguhnya pertolongan diperoleh bersama kesabaran dam kemudahan selalu disertai kesulitan dan bersama kesulitan ada kemudahan.” Saya memohon kepada Allah untuk kalian dan yang lainnya agar dimudahkan oleh Allah dalam seluruh urusannya dan semoga segera mempertemukan kalian dengan laki-laki yang shalih yang hanya menikah untuk kebaikan dunia dan agamanya . Sumber: www.salafy.or.id versi offline Dikutip dari : Fatawal Mar’ah hal. 58, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin Judul: Nasehat Bagi Wanita yang Terlambat Menikah
HUKUM MEMAKAI CINCIN PERTUNANGAN ATAU PERKAWINAN
Tanya: Apa hukumnya memakai cincin kawin atau cincin pertunangan? (Mawardi, Banjarmasin) Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Telah diajukan pertanyaan seputar masalah ini kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Dan beliau berfatwa: “Cincin tunangan adalah ungkapan dari sebuah cincin (yang tidak bermata). Pada asalnya, mengenakan cincin bukanlah sesuatu yang terlarang kecuali jika disertai i’tiqad (keyakinan) tertentu sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Seseorang menulis namanya pada cincin yang dia berikan kepada tunangan wanitanya, dan si wanita juga menulis namanya pada cincin yang dia berikan kepada si lelaki yang melamarnya, dengan anggapan bahwa hal ini akan menimbulkan ikatan yang kokoh antara keduanya . Pada kondisi seperti ini, cincin tadi menjadi haram, karena merupakan perbuatan bergantung dengan sesuatu yang tidak ada landasannya secara syariat maupun inderawi (tidak ada hubungan sebab akibat).1 Demikian pula, lelaki pelamar tidak boleh memakaikannya di tangan wanita tunangannya karena wanita tersebut baru sebatas tunangan dan belum menjadi istrinya setelah lamaran tersebut. Maka wanita itu tetaplah wanita ajnabiyyah (bukan mahram) baginya, karena tidaklah resmi menjadi istri kecuali dengan akad nikah.” (sebagaimana dalam kitab Al-Usrah Al- Muslimah, hal. 113 , dan Fatawa Al-Mar`ah Al- Muslimah, hal. 476) Telah diajukan juga sebuah pertanyaan kepada Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah: “Apa hukum mengenakan cincin atau cincin tunangan apabila terbuat dari perak atau emas atau logam berharga yang lain?” Beliau menjawab: “ Seorang lelaki tidak boleh mengenakan emas baik berupa cincin atau perhiasan yang lain dalam keadaan apapun . Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan emas atas kaum laki-laki umat ini. Dan beliau melihat seorang lelaki yang mengenakan cincin emas di tangannya maka beliaupun melepas cincin tersebut dari tangannya. Kemudian beliau berkata: يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَضُعَهَا فِي يَدِهِ؟ “ Salah seorang kalian sengaja mengambil bara api dari neraka lalu meletakkannya di tangannya? ” Maka, seorang lelaki muslim tidak boleh mengenakan cincin emas. Adapun cincin selain emas seperti cincin perak atau logam yang lain, maka boleh dikenakan oleh laki-laki, meskipun logam tersebut sangat berharga. Mengenakan cincin tunangan bukanlah adat kaum muslimin ( melainkan adat orang-orang kafir). Apabila cincin itu dipakai disertai dengan i’tiqad (keyakinan) akan menyebabkan terwujudnya rasa cinta antara pasangan suami istri dan jika ditanggalkan akan memengaruhi langgengnya hubungan keduanya, maka yang seperti ini termasuk syirik.2 Dan ini merupakan keyakinan jahiliyah. Maka, tidak boleh mengenakan cincin tunangan dengan alasan apapun , karena: 1. Merupakan perbuatan taqlid (membebek) terhadap orang-orang yang tidak ada kebaikan sedikitpun pada mereka (yakni orang-orang kafir), di mana hal ini adalah adat kebiasaan yang datang ke tengah-tengah kaum muslimin, bukan adat kebiasaan kaum muslimin . 2. Apabila diiringi dengan i’tiqad (keyakinan) akan memengaruhi keharmonisan suami istri maka termasuk syirik . Wala haula wala quwwata illa billah. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 476- 477) Kedua ulama ini sepakat bahwa jika cincin tunangan itu dipakai disertai i’tiqad yang disebutkan maka hukumnya haram dan merupakan syirik kecil. Adapun bila tanpa i’tiqad tersebut, keduanya berbeda pendapat. Dan pendapat Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan lebih dekat kepada al-haq dan lebih selamat. Wallahu a’lam bish-shawab. 1 Menjadikan perkara tertentu sebagai sebab dalam usaha mencapai sesuatu, padahal syariat tidak memerintahkannya, dan tidak ada pula hubungan sebab akibat antara perkara tersebut dengan tujuan yang akan dicapai (secara tinjauan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatur kejadian alam), adalah perbuatan syirik kecil; yang merupakan wasilah yang akan menyeret seseorang untuk terjatuh dalam perbuatan syirik besar yang membatalkan keislamannya. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kesyirikan. (pen) 2 Yakni syirik kecil. (pen.) Dikutip dari http://asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari Judul: Hukum Memakai Cincin Kawin/Cincin Pertunangan
BARANG SIAPA MEMULIAKAN ANAK PEREMPUAN. JANJI SURGA MENANTIKAN NYA
Kelahiran anak laki-laki, hingga kini, dianggap sebagai pelanggeng garis keturunan keluarga. Tak sedikit pula yang menjadikannya penanda kehormatan. Sebaliknya, berbagai belitan kesedihan dan rasa malu menghantui pasangan yang ‘hanya’ dikaruniai anak perempuan. Padahal, dalam Islam, jika anak-anak perempuan itu dimuliakan yang terurai dalam sikap kasih sayang, memberikan pendidikan dan pengajaran agama yang baik, janji surga telah menantikannya. Perasaan kecil hati kadang menyelimuti pasangan yang belum juga dikaruniai anak laki-laki. Bahkan tak sedikit orang tua yang lebih mendambakan bayi yang hendak lahir ini laki-laki dibanding keinginan untuk mendapatkan anak perempuan. Demikianlah keadaan mayoritas manusia sebagaimana dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: مَنِ ابْتُلِيَ مِنَ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ، فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ، كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ “ Barangsiapa yang diberi cobaan dengan anak perempuan kemudian ia berbuat baik pada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka .” (HR. Al-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 2629) Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai ibtila’ (cobaan), karena biasanya orang tidak menyukai keberadaan anak perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 16 /178) Bahkan dulu pada masa jahiliyah, orang bisa merasa sangat terhina dengan lahirnya anak perempuan. Sehingga tergambarkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah, betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59) Sementara di dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam perbuatan mengubur anak-anak perempuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَإِذَا الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ “ Dan ketika anak perempuan yang dikubur hidup- hidup ditanya, atas dosa apakah dia dibunuh .” ( At-Takwir: 8-9) Al-Mau`udah adalah anak perempuan yang dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyah karena kebencian terhadap anak perempuan. Pada hari kiamat, dia akan ditanya atas dosa apa dia dibunuh, untuk mengancam orang yang membunuhnya. Apabila orang yang dizalimi ditanya (pada hari kiamat kelak, –pen.), maka bagaimana kiranya persangkaan orang yang berbuat zalim (tentang apa yang akan menimpanya, –pen.)? (Tafsir Ibnu Katsir, 8/260) Demikianlah Islam memuliakan anak perempuan. Selain dalam Al Qur’an, dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didapati pula larangan yang jelas dari mengubur anak perempuan. Hadits ini disampaikan oleh Al- Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ، وَمَنْعًا وَهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ “ Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka pada ibu, menolak untuk memberikan hak orang lain dan menuntut apa yang bukan haknya, serta mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah membenci bagi kalian banyak menukilkan perkataan, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta .” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593) Wa`dul banat adalah menguburkan anak perempuan hidup-hidup sehingga mereka mati di dalam tanah. Ini merupakan dosa besar yang membinasakan pelakunya, karena merupakan pembunuhan tanpa hak dan mengandung pemutusan hubungan kekerabatan. (Syarh Shahih Muslim, 12 /11) Di sisi lain, dalam agama yang mulia ini ada anjuran agar orang tua yang dikaruniai anak perempuan memuliakan anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menganugerahkan anak perempuan telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang berbuat kebaikan kepada anak perempuannya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan: جَاءَتْنِي مِسْكِيْنَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا فَأَطْعَمْتُهَا ثَلاَثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيْهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا، فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ الَّتِي كَانَتْ تُرِيْدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ وَأَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ Seorang wanita miskin datang kepadaku membawa dua anak perempuannya, maka aku memberinya tiga butir kurma. Kemudian dia memberi setiap anaknya masing-masing sebuah kurma dan satu buah lagi diangkat ke mulutnya untuk dimakan. Namun kedua anak itu meminta kurma tersebut, maka si ibu pun membagi dua kurma yang semula hendak dimakannya untuk kedua anaknya. Hal itu sangat menakjubkanku sehingga aku ceritakan apa yang diperbuat wanita itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata: “ Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya surga dan membebaskannya dari neraka.” (HR. Muslim no. 2630) Dalam riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘ anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan kedekatannya dengan orang tua yang memelihara anak-anak perempuan mereka dengan baik kelak pada hari kiamat: مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ -وَضَمَّ أَصَابِعَهُ - “ Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan aku dan dia (seperti ini),” dan beliau mengumpulkan jari jemarinya” . (HR. Muslim no. 2631) Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan, hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan seseorang yang berbuat baik kepada anak-anak perempuannya, memberikan nafkah, dan bersabar terhadap mereka dan dalam segala urusannya. ( Syarh Shahih Muslim, 16 /178) Masih berkenaan dengan keutamaan membesarkan dan mendidik anak perempuan, seorang shahabat, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ، فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ، وَأَطْعَمَهُنَّ، وَسَقَاهُنَّ، وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ، كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ يَوْمَ القِيَامَةِ “ Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar atas mereka, memberi mereka makan, minum, dan pakaian dari hartanya, maka mereka menjadi penghalang baginya dari api neraka kelak pada hari kiamat .” ( Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 56 : “Shahih”) Tidak hanya itu saja, dalam berbagai riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggarisbawahi hal ini. Jabir bin Abdillah rahimahullahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثَُ بَنَاتٍ، يُؤْوِيْهِنَّ، وَيَكْفِيْهِنَّ، وَيَرْحَمُهُنَّ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ الْبَتَّةَ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَعْضِ القَوْمِ: وَثِنْتَيْنِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَثِنْتَيْنِ “ Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan yang dia jaga, dia cukupi dan dia beri mereka kasih sayang, maka pasti baginya surga.” Seseorang pun bertanya, “Dua juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dan dua juga .” ( Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 58 : “Hasan”) Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga meriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُدْرِكُهُ ابْنَتَانِ، فَيُحْسِنُ صُحْبَتَهُمَّا، إِلاَّ أَدْخَلَتَاهُ الْجَنَّةَ “ Tidaklah seorang muslim yang memiliki dua anak perempuan yang telah dewasa, lalu dia berbuat baik pada keduanya, kecuali mereka berdua akan memasukkannya ke dalam surga .” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 57 : “Hasan lighairihi”) Agama yang sempurna ini juga memberikan gambaran tentang pengungkapan sikap kasih sayang orang tua kepada anak perempuannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh bagi umat beliau melalui pergaulannya dengan putri beliau, Fathimah radhiyallahu ‘anha . Tentang ini, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkisah: مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ. قَالَتْ: وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا، ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكَانَ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ، ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ “ Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam cara bicara maupun duduk daripada Fathimah.” ‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Begitu pula apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang padanya, maka Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggandeng tangannya, lalu menciumnya .” ( Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 725) Demikian pula yang dilakukan oleh sahabat beliau yang terbaik, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘ anhu . Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu: دَخَلْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ، فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَالَ: كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّةُ؟ “ Aku pernah masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang terbaring sakit panas. Aku pun melihat Abu Bakr mencium pipi putrinya sambil bertanya, ‘ Bagaimana keadaanmu, wahai putriku? ” (HR. Al- Bukhari no. 3918) Dalam hal pemberian, Islam juga mengajarkan untuk memberikan bagian yang sama antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu: تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ. فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لاَ أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفَعَلْتَ هذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلاَدِكُمْ. فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ “ Ayahku pernah memberiku sebagian hartanya, lalu ibuku, ‘Amrah bintu Rawahah, mengatakan padanya, “Aku tidak ridha hingga engkau minta persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ayahku pun menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta persaksian beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya, “ Apakah ini kau lakukan pada semua anakmu?” “ Tidak,” jawab ayahku. Beliau pun bersabda, “ Bertakwalah kepada Allah tentang urusan anak- anakmu.” Ayahku pun kembali dan mengambil kembali pemberian itu .” (HR. Al-Bukhari no. 2650 dan Muslim no. 1623) Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan tentang hadits ini bahwa semestinya orang tua menyamakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian. Dia berikan pada seorang anak sesuatu yang semisal dengan yang lain dan tidak melebihkannya, serta menyamakan pemberian antara anak laki-laki dan perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 11 /29) Begitu pula dari sisi pendidikan, orang tua harus memberikan pengajaran dan pengarahan kepada anak-anaknya, termasuk anak perempuannya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ البَهِيْمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا جَدْعَاءَ؟ “ Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak akan melahirkan binatang ternak yang sempurna. Apakah engkau lihat ada binatang yang lahir dalam keadaan telah terpotong telinganya? ” (HR. Al-Bukhari no. 1385) Seorang anak yang terlahir di atas fitrah ini siap menerima segala kebaikan dan keburukan. Sehingga dia membutuhkan pengajaran, pendidikan adab, serta pengarahan yang benar dan lurus di atas jalan Islam. Maka hendaknya kita berhati-hati agar tidak melalaikan anak perempuan yang tak berdaya ini, hingga nantinya dia hidup tak ubahnya binatang ternak. Tidak mengerti urusan agama maupun dunianya. Sesungguhnya pada diri Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam ada teladan yang baik bagi kita. ( Al-Intishar li Huquqil Mukminat, hal. 25) Bahkan ketika anak perempuan ini telah dewasa, orang tua selayaknya tetap memberikan pengarahan dan nasehat yang baik. Ini dapat kita lihat dari kehidupan seseorang yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dalam peristiwa turunnya ayat tayammum. Diceritakan peristiwa ini oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِذَاتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي، فَأَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى التِّمَاسِهِ، وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ. فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ فَقَالُوا: أَلاَ تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ؟ أَقَامَتْ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسِ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ. فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ. فَقَالَ: حَبَسْتِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَعَاتَبَنِي أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُوْلَ، وَجَعَلَ يَطْعُنُنِي بِيَدِهِ فِي خَاصِرَتِي، فَلاَ يَمْنَعُنِي مِنَ التَّحَرُّكِ إِلاَّ مَكَانُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي. فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ أَصْبَحَ عَلََى غَيْرِ مَاءٍ، فَأَنْزَلَ اللهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ، فَتَيَمَّمُوا. فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ: مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَرَكَتِكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ. قَالَتْ: فَبَعَثْنَا البَعِيْرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ، فَأَصَبْنَا العِقْدَ تَحْتَهُ “ Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu safarnya. Ketika kami tiba di Al-Baida’ –atau di Dzatu Jaisy– tiba-tiba kalungku hilang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun singgah di sana untuk mencarinya, dan orang-orang pun turut singgah bersama beliau dalam keadaan tidak ada air di situ. Lalu orang-orang menemui Abu Bakr sembari mengeluhkan, “Tidakkah engkau lihat perbuatan ‘Aisyah? Dia membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tak ada air, sementara mereka pun tidak membawa air.” Abu Bakr segera mendatangi ‘Aisyah. Sementara itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku. Abu Bakr berkata, “Engkau telah membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tidak berair, padahal mereka juga tidak membawa air!” Aisyah melanjutkan, “Abu Bakr pun mencelaku dan mengatakan apa yang ia katakan, dan dia pun menusuk pinggangku dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk bergerak karena rasa sakit, kecuali karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur di pangkuanku. Keesokan harinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun dalam keadaan tidak ada air. Maka Allah turunkan ayat tayammum sehingga orang-orang pun melakukan tayammum. Usaid ibnul Hudhair pun berkata, “Ini bukanlah barakah pertama yang ada pada kalian, wahai keluarga Abu Bakr.” ‘ Aisyah berkata lagi, “Kemudian kami hela unta yang kunaiki, ternyata kami temukan kalung itu ada di bawahnya .” (HR. Al-Bukhari no. 224 dan Muslim no. 267) Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan bahwa di dalam hadits ini terkandung ta`dib ( pendidikan adab) seseorang terhadap anaknya, baik dengan ucapan, perbuatan, pukulan, dan sebagainya. Di dalamnya juga terkandung ta`dib terhadap anak perempuan walaupun dia telah dewasa, bahkan telah menikah dan tidak lagi tinggal di rumahnya. (Syarh Shahih Muslim, 4 /58) Inilah di antara pemuliaan Islam terhadap keberadaan anak perempuan. Tidak ada penyia- nyiaan, tidak ada peremehan dan penghinaan. Bahkan diberi kecukupan, dilimpahi kasih sayang diiringi pendidikan yang baik, agar kelak memberikan manfaat bagi kedua orang tuanya di negeri yang kekal abadi. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. Dikutip dari http://Assyariah.com Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran Judul: Memuliakan Anak Perempuan\
DIBALIK KELEMBUTAN SUARAMU
Banyak wanita di jaman ini yang merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah. Ukhti Muslimah…. Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu. Begitu mudahnya wanita tersebut memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan: “ Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf .” (Al Ahzab: 32) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda : “ Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah) ”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2 /36). Suara merupakan bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang disampaikan Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (1/ 431, 434) Para wanita diwajibkan untuk menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah1. Ketika mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan ber-tashbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “ Ucapan tashbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita ”. (HR. Al Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422) Demikian pula dalam masalah adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat menara-menara masjid karena hal itu melazimkan suara yang keras. Ketika terpaksa harus berbicara dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya, tanpa berpanjang kata melebihi keperluan semula. Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah u berkata dalam tafsirnya: “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32) , ia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/491). Maksud penyakit dalam ayat ini adalah syahwat ( nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau yang semisalnya. Suara wanita di radio dan telepon Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: “ Bolehkah seorang wanita berprofesi sebagai penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita melalui pesawat telepon atau secara langsung? ” Asy Syaikh menjawab: “Apabila seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “ Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita .” Ikhtilath yang seperti ini selamanya tidak akan dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah. Adapun mendengar suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan adalah berlezat- lezat (menikmati) suara tersebut atau terus- menerus berbincang-bincang dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti inilah yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta fatwa mengenai suatu permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal ini diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan lemah-lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi yang demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki- laki yang mengajaknya bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka haram bagi laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya seketika ia menyadarinya. Sedangkan mengajak bicara wanita secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya (kakak/adik ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” ( Fatawa Al Mar‘ah Al Muslimah, 1/433-434). Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini: “Wajib bagi wanita untuk bicara seperlunya melalui telepon, sama saja apakah dia yang memulai menelepon atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi kedua belah pihak di mana keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling berjauhan dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan dan terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.” (Fatawa Al Mar`ah, 1/435) Laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya Kenyataan yang ada di sekitar kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan mereka telah teranggap setengah resmi sehingga apa yang sebelumnya tidak diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang paling mudah adalah masalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu- dayu karena menganggap sedang berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk menunjukkan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi sebenarnya bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan ini? Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab: ” Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya ( di-khitbah-nya), apabila memang pinangannya ( khitbah) telah diterima . Dan pembicaraan itu dilakukan untuk saling memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di dalamnya. Namun bila keperluan yang ada disampaikan lewat wali si wanita maka itu lebih baik dan lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki dan wanita, antara pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta‘aruf) –kata mereka- sementara belum ada khithbah di antara mereka, maka ini perbuatan yang mungkar dan haram, mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman: “ Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf .” (Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al Mar‘ah, 2/605) ? (Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin Dikutip dari http://Asysyiah.com Penulis : Al Ustadzah Ummu Ishak Al Atsariyyah & Al Ustadzah Ummu Affan
ARTIKEL POSTS
30 SITUS BERBAHAYA DI DUNIA RIWAYAT PEZINA DI JAMAN MB MUSA AS RIWAYAT PEMERKOSA MAYAT INILAH LABELT DARI PADA MANGNGAR JAYA YANG PERTAMA LABELTS ISI POSTS MANGNGAR JAYA DENGAN LENGKAP LABELT BERIKUT INI ISINYA LUMAYAN LABELTS POSTS MANGNGAR JAYA TERBAGI LABELT MANGNGAR JAYA ABADI ISI LENGKAP LABELT MANGNGAR JAYA ISI LENGKAP LABELT POSTS MANGNGAR JAYA BEUTIFUL LABELT HARI HARI POSTS MANGNGAR JAYA LABELT POSTS MANGNGAR JAYA ISI CAMPUR2 LABELTS MANGNGAR JAYA ISINYA CAMPUR KLIK LABELT MANGNGAR RANGKUM LABELT BERIKUTNYA KLIK DISINI LABELT ISI POSTS MANGNGAR JAYA INI ADALAH ISI SEBAGIAN POSTING MANGNGAR JAYA KUMPULAN ISI POSTING DISINI KUMPULAN SERI SIRRUL ASRAR
Daftar Blog Saya
-
Terbentuknya Jagat Raya Menurut Pandangan Al-Quran - *BAB I* *PENDAHULUAN* *1. * *Latar Belakang* Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME dan sebagai wakil Tuhan di bumi yang menerima amanat-Nya untuk ...
-
SHALAWAT KEPADA NABI SAW, MAKNA DAN KEUTAMAANNYA - Sesungguhnya Shalawat terhadap Nabi memiliki kedudukan yang tinggi di dalam hati setiap muslim, oleh sebab itu, kami akan membahas dengan ringkas tentang...
-
SURAH AL-FATIHAH - بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ *﴿١﴾* الحَمدُ لِلَّهِ رَبِّ العٰلَمينَ *﴿٢﴾* الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ *﴿٣﴾* مٰلِكِ يَومِ الدّينِ *﴿٤﴾* إِيّاكَ نَعبُدُ وَ...